Siapa? (revisi)

58 14 24
                                    

Aku terdiam setelah kejadian beberapa menit yang lalu. Jantungku masih saja bertalu cepat sampai sekarang. Bahkan saat makan tadi, sepertinya sup tidak langsung mengalir begitu saja. Bahkan rasanya, aku tak ingat sama sekali.

Semua ini membuatku resah dan bingung harus bersikap bagaimana bilamana bertemu dengannya. Ini baru untukku setelah sekian lamanya. Maka dari itu kalian tak bisa menyebutku berlebihan.

Sehari setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk melupakannya. Ralat. Maksudku berusaha untuk melupakannya. Karena bagaimanapun aku tak menampik bahwa sebagian kecil diriku menikmatinya.

Hanya sebagian kecil, ya! Karena seperti yang kalian tahu, semua itu terlalu cepat dan mendadak. Jadi rasa terkejut lebih mendominasi ketimbang menikmati. Ah sudahlah.

Aku memperhatikan bayanganku dicermin sambil sesekali tersenyum entah pada siapa. Aku menghentikan kegiatan menyisir yang entah sudah berapa lama aku lakoni. Dan lagi-lagi aku tersipu malu. Jujur saja aku merasa geli sendiri, sampai aku bisa melihat dicermin perlahan tapi pasti pipiku memerah. Mungkin karena tidak bekerja aku begini, sehingga tak ada pikiran lain selain tentangnya.

Aku bertanya-tanya, 'Bagaimana wajahku saat itu?' atau 'Bagaimana reaksinya? Apa dia tertarik padaku?' bahkan sampai pertanyaan paling keramat akhirnya kutujukan pada diri sendiri, 'Apa aku menyukainya?'

"Tak boleeeeeeh! Kenapa jadi begini?!" aku melompat keatas kasur dengan brutal, menarik selimut dan membenamkan wajah pada bantal yang baru saja kudapat dari teman. Tapi mari kita lupakan temanku itu, karena sekarang aku sedang terancam depresi.

Andai saja kasur bisa aku jadikan tempat bertanya, mungkin saja aku sudah bertanya dari tadi tentang apa yang terjadi sebenarnya padaku. Dan dengan begitu kalian bisa menganggapku gila.

Ah! Mungkinkah aku.... Puber? Lagi? Diusiaku yang sekarang sudah menginjak 25 tahun? Rasanya tidak mungkin. Terlebih lagi aku sudah menutup hatiku rapat-rapat dari hal-hal yang berbau cinta. Meskipun perasaan seperti ini persis dengan yang kurasakan delapan tahun lalu, tapi aku tak mau tergesa-gesa untuk menyimpulkan. Aku bukan takut apalagi korban patah hati. Aku hanya ingin berhati-hati.

Biarlah perasaan ini aku terima, tapi tak akan kupedulikan. Aku hanya berniat mengambil pelajaran dari yang sudah-sudah agar tidak terulang kembali. Agar jika datang lagi orang yang begitu mudahnya menganggap prinsipku permainan, aku bisa mencincangnya lebih dulu sebelum dia yang mencabik-cabik perasaanku.

Ngomong-ngomong tentang prinsip, harus kuakui aku adalah pemegang teguh prinsip satu untuk selamanya. Terserah percaya atau tidak. Tapi yang jelas apapun prinsipnya, aku hanya tak ingin terjebak dalam genangan kenangan yang perlahan menenggelamkan.

"Lagi-lagi aku mengingatnya." gumamku seraya beranjak dari kasur menuju meja rias yang sempat kutinggalkan tadi.

Inilah penyebab aku tak ingin sama sekali tersentuh oleh yang namanya asmara. Apapun jenisnya aku tak ingin mendekatinya, aku ingin lupa.

Meski belum selesai dengan semua pemikiran sendiri yang berkecamuk, tapi aku sudah tak ingin berurusan lagi dengan semua itu. Aku ingin keluar rumah sebentar, sekedar menghirup udara segar atau mencari pekerjaan tambahan.

Aku mengenakan mantel yang cukup tebal untuk menghalau udara dingin yang mungkin saja akan dengan mudah masuk ketubuhku. Mengingat sekarang musim hujan. Rambut kubiarkan tergerai dan menjuntai menyentuh punggung yang sudah lama tak merasakan relaksasi.

Ah.. Tak lupa tas yang sudah mulai buluk termakan waktu.

Sepanjang jalan aku hanya berkeliling mengitari kota yang ramai, dimana kerlap kerlip malam terpadu dengan hingar bingar dunia. Dengan harapan keberuntungan sudi memilihku untuk sasarannya.

Intuition of Love (to me youre real)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang