Bab 3 Idaman

49.9K 5.8K 311
                                    

Yang tidak disukai Jeya saat berkumpul dengan orang banyak adalah saat tubuhnya berdesakan. Dan jika kulitnya bertemu kulit salah satu di antara mereka, bisa ditebak dengan mudah apa yang terjadi padanya. Dia tidak suka mengetahui hal buruk orang lain. Lebih baik disuruh memakan bakso penuh kecap dan saos, meskipun dua hal itu bisa menyebabkan lidahnya mati rasa, ketimbang tahu hal-hal yang seharusnya disembunyikan.

Menurutnya, ini bukan anugrah. Ini seperti sebuah azab karena hidup lagi.

Jeya menggigit bibir kuat-kuat, mengusir kenangan sepuluh tahun silam yang tiba-tiba muncul lagi dalam kepalanya. Dia tidak mau mengingat itu lagi.

"Jeya, kamu di sini? Ada masalah? Tidak ikut makan di dalam?" Seorang pria dengan tubuh tegap menghampirinya. Dia memakai baju koko putih dan sarung hijau limau.

Jeya menatap sekilas kemudian kembali menunduk, lebih suka melihat warna putih pasak bumi yang berderet-deret rapi di tepi jalan.

"Masih suka menyendiri dan mengucilkan diri, ya?" pria itu berdiri sejauh lima depa dari Jeya. Tubuhnya disandarkan pada pagar kayu yang memisahkan halaman rumah keluarga Amina dengan jalan.

Jeya masih hening, duduk di gorong-gorong. "Kadang mimpi buruk datang bukan hanya saat aku tidur. Mimpi itu justru sering muncul saat aku berada dalam keramaian, dan 100% dalam kondisi sadar. Jadi, daripada terjebak, lebih baik di sini. Lagipula, tahlilannya sudah selesai, udara di sini juga segar."

Faridh tahu, itu bukan alasan mengapa Jeya ada di sini. "Ajal, memang tidak ada satu pun manusia yang tahu. Menyadari bahwa orang yang kita sayangi sudah tidak ada, rasanya hidup seperti game over."

Bukan game over, bisik Jeya pada dirinya. Kematian selalu membuatnya teringat hal buruk yang dialaminya sepuluh tahun lalu. Ketika Faridh menyelamatkan dirinya.

"Seperti permainan, saat game over, kita butuh koin untuk melanjutkan. Dalam hidup, koin itu berupa jiwa yang pasrah," katanya, memandangi punggung tangannya sendiri yang terkena sorot lampu. Dia melirik Jeya, ekspresi gadis itu masih masam. Ternyata, nasehatnya tidak cukup ampuh untuk mempengaruhi. "Apa kamu paham ceramahku malam ini? Oke, kalau kamu belum paham, aku bisa mengulanginya."

Jeya tersenyum sekadarnya.

"Nah, itu yang kutunggu dari tadi. Kamu sudah melewati banyak hal berat, Jeya. Sampai hari ini, kamu masih tegak. Karena itu, kamu harus percaya bahwa masalah pasti takluk melihat senyummu." Mata Faridh memancarkan sesuatu yang hangat dan bersahabat.

Jeya merasa malu pada dirinya. Faridh saja meyakini bahwa dirinya mampu bertahan, kenapa dia malah membiarkan pikirannya dikendalikan masa lalu?

"Senyum memang tidak menyelesaikan masalah, tapi sebuah senyuman mampu membuat masalah kesemsem dan tidak berulah. Itu adalah teori Gus Faridh." Jeya membalas dengan lelucon yang sangat cerdas.

Faridh selalu terkesan pada selera humor gadis itu.

"Aku tadi bertemu seseorang yang istimewa. Saat aku menyentuhnya, aku tidak bisa melihat dosa-dosanya. Kupikir tadi, aku kembali normal. Aku berlari menemui Amina untuk menceritakan kabar bahagia itu. Dan..., yah...." Jeya mendongak, melihat kelip-kelip bintang, kekecewaan menggumpal pada matanya yang bulat bening, "ternyata, aku salah menyimpulkan."

Faridh menyipitkan mata, "lalu?"

"Saat dia di dekatku, aku juga tidak bisa melihat dosa orang yang sedang menyentuhku. Kira-kira, apa yang dimilikinya, Gus? Aku ingin bertanya banyak, tapi matanya membuatku ketakutan dan tidak nyaman. Ada sebagian diriku yang menyuruh untuk tetap menatapnya, dan ada sebagian lagi yang memerintahku untuk menjauh. Aku sampai mengusirnya dua kali dengan alasan pria tidak boleh masuk ke pesantren putri."

Kasyaf (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang