Bab 4 Jumpa

43.9K 5.6K 329
                                    


Nyawa Jeya masih terkumpul separuh ketika Cici menyeretnya keluar kamar. Antara sadar dan tidak, tangannya meraih jilbab lalu memakainya asal-asalan. Dia berjalan mengikuti santri yang jarak usianya sekitar 10 tahun darinya.

"Ada apa? Ya Allah, kamu pernah mencuri mangga milik Ustadz Ridho. Dan..., apa? Kamu suka menyontek pas ulangan. Namamu, namamu siapa?" Jeya malas sekali membuka mata. "Bahkan tidak tidur saja, aku mimpi buruk. Kamu jangan menyentuhku!"

Dia mendorong Cici dengan sepenuh tenaga. Bukan lawannya yang terhuyung-huyung, justru dirinya sendiri. Lalu pada akhirnya, tubuhnya mendarat mulus di lantai.

Dia menepuk-nepukkan tangan di atas marmer yang berkualitas buruk, mengerang seperti anak kecil kehilangan permen, "aku ngantuk.... Aku mau tidur. Tolong, jangan ganggu aku." Dan tidak menunggu hitungan kedua, kepalanya sudah terkulai.

Cici berjengit ngeri melihat seniornya terkapar tidak berdaya. Kasihan, sebenarnya. Tapi, dia juga tidak tahu harus bagaimana. Nisma sedang demam. Bromocorah satu itu tidak mau diurus oleh siapapun, kecuali, ya calon kakak iparnya alias Jeya alias Giant. Kalau tidak disuruh Mbak Muna, ketua asramanya, dia juga tidak sudi. Lihat saja, di balik sikap sinis dan enggan bergaulnya, ternyata ketua keamanan pesantren putri hanyalah seorang gadis yang kekanak-kanakan.

"Mbak, Nisma sakit." Cici mau menyentuh pergelangan Jeya lagi, membantunya bangkit.

"Jangan menyentuhku! Aku paling pintar menyingkirkan orang yang berani menyentuhku. Kalau kamu mau selamat, jauhkan tanganmu dariku. Asshh, aku ngantuuuuk." Jeya mendesah nelangsa, membuka mata dengan ogah-ogahan, kemudian ketika dendritnya mengirimkan informasi bahwa Nisma sedang sakit, saraf motoriknya langsung bekerja. Dengan cekatan, nyaris bergerak dalam satu kedipan mata, Jeya berdiri. Salah satu tangannya memijit pelipis.

"Di mana kamarnya?" kali ini, Jeya sudah menjadi Jeya yang dikenal Cici. "Jangan diam saja. Antar aku."

Cici cengo, kemudian geragapan, kemudian tergopoh-gopoh menuju asramanya. Seumur hidup, selama nyantri di sini, cukup sekali ini saja dia berhubungan dengan Jeya. Titik. Cici kapok lahir batin.

***

"Sejak kapan dia demam?" Jeya berpikir dua kali untuk menyentuh kening Nisma. Dia menyuruh Muna untuk mengecek suhu badannya.

"Tadi siang, dia kehujanan. Selepas muhadharah, badannya panas. Kukasih parasetamol, tapi demamnya belum reda. Sudah dikompres juga, belum ada hasil." Muna menjelaskan, "39 derajat Celcius."

"Kita bawa ke puskesmas saja, bagaimana?" usul Jeya kemudian.

"Mbak Jeya, aku nggak mau dibawa ke dokter." Suara rintihan itu sangat lemah. Jeya duduk di tepi kasur. Tangannya menyentuh selimut yang basah oleh keringat. Rasa iba mengetuk nalurinya. Tanpa pikir panjang, dia mengelus rambut Nisma yang kusut.

"Nisma mau sembuh-" Jeya tersentak sampai kepalanya membentur dinding. Bayangan seorang wanita yang dipukuli memenuhi kepalanya. Di bawah kolong tidur, Nisma menangis sambil membekap mulut agar isakannya tidak terdengar. Kemudian ada suara gerabah pecah, teriakan murka seorang pria. Semua hal buruk itu membuat Jeya gemetaran. Dia tidak seharusnya melihat ini. Tidak!

"Mbak Jeya, kenapa?" Muna khawatir. Dia menyentuh punggung tangan Jeya, hendak memindahkannya dari kepala Nisma.

Jeya kembali tersentak. Kali ini sebuah bayangan gelap, di bawah sinar bulan, Muna sedang memeluk seorang pria. Pelan-pelan, wajah keduanya saling mendekat, mengeliminasi jarak agar bisa menyentuh lebih intim.

Ini salah. Jeya tidak mau melihat dosa orang lain lagi. Seharusnya, dia tidak pernah datang di sini. Tidak sanggup mengontrol emosi, dia mendorong Muna, kemudian lari keluar. Meninggalkan dua orang yang bertanya-tanya.

Kasyaf (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang