Bab 12 Dan Itu Disebut Cinta

39.3K 5.6K 737
                                    

Hammuka membersihkan tangannya pada wastafel. Darah yang menempel pada kulitnya sudah kering, harus digosok-gosok agar noda itu hilang. Air bekas cuci tangan itu berwana merah, kecokelatan muda, lalu jernih. Supaya tidak basah, dia mengambil tisu, mengelap jemari. Ada banyak yang menggelayuti pikirannya. Dia tadi menyelamatkan korban tabrak lari, teman-temannya sedang mengejar pelaku sementara dia, usai mendokumentasikan kejadian, mengantar korban ke rumah sakit.

"Keluarga korban sudah datang," Vanno masuk dalam toilet. "Ibunya pingsan karena tahu anaknya patah kaki."

Hammuka menyentuh kelopak bawah mata, berpikir kapan terakhir dia tidur nyenyak. "Orang-orang selalu mengekspresikan kesedihan dengan airmata. Kadang, jadi histeris. Kadang...," ingatannya tertuju pada Jeya, "hanya diam, menyimpan beban sendirian. Kita sering bersimpati pada korban saat menyelidiki kejadian kriminal, menurutmu, Van..., bagaimana perasaan seseorang yang bisa melihat tindak kejahatan orang lain setiap kali bersentuhan, sengaja atau tidak?"

Vanno memercikkan air pada wajahnya, "pasti tersiksa."

Hammuka setuju, "dan jika bersamamu, dia bisa memblokir kemampuannya, apa kamu akan mengijinkannya tinggal."

"Apa dia cantik?"

Hammuka mengangguk.

"Tingginya berapa?" Lanjut Vanno dengan mata berseri-seri. Wajah kusutnya sudah raib kalau membicarakan wanita cantik.

Hammuka menyentuh bawah telinganya. "Tinggi yang berpotensi membuatku percaya bahwa kami seperti puzzle. Setiap kepingnya ditakdirkan untuk melengkapi satu sama lain. Benar-benar konyol."

"Apa ini alasanmu membuat surat perjanjian siap nikah yang edan itu?" Mata Vanno mengedip menggoda, lalu dia tertawa, "aku sudah tahu. Perasaan, seperti apapun, jika kamu meyakininya, perjuangkan. Jika tidak, tinggalkan. Semudah itu. Jangan buang waktu dengan sesuatu yang kamu ragukan. Nah, sekarang aku tanya, seberapa yakin kamu pada perasaanmu itu?"

"Sepenuhnya." Hammuka sudah tahu jawaban yang dibutuhkan, "aku akan kembali ke Mapolres. Aku harus menemui ayahnya untuk menjelaskan dan memperbaiki keadaan."

"Wow! Wow! Wow! Kamu terburu-buru!" teriak Vanno, melihat Hammuka dari pantulan cermin.

"Aku tidak terburu-buru, aku hanya tidak mengenal kata nanti." Hammuka berhenti, ingat alasan mengapa dia ada di sini, "aku perintahkan kamu tetap di rumah sakit ini untuk memantau korban."

Vanno membalik tubuh dengan posisi siaga. "Siap, laksanakan, Pak!" kemudian menghormat. Tangannya baru diturunkan setelah Hammuka sempurna membalas hormatnya.

***

Hammuka melihat mobil ambulans yang parkir di halaman polres. Beberapa perawat berjalan tergesa. Dia setengah berlari, mencari tahu. Ada kepala polres sedang mengobrol dengan dokter. Pada sudut lain, sebuah tandu diangkat oleh dua polisi, buru-buru dibawa masuk dalam mobil ambulans. Penglihatannya tidak salah. Ayah Jeya yang berbaring di sana.

"Hammuka, tolong, kamu ikut ke rumah sakit." Perintah itu ditujukan padanya oleh Handoko, kepala polres kota Blitar.

"Siap, Pak!"

Suasana cukup rumit. Membuatnya belum bisa mencerna keadaan dengan baik. Hanya saja, dia harus mengikuti intruksi atasannya. Di dalam mobil milik rumah sakit, Hammuka melihat baik-baik kulit wajah Hans. Ada bekas muntah berwarna kehijauan, juga bercak darah di sekitar mulut. Warna kulitnya juga berubah lebih gelap, tidak seperti terakhir mereka bertemu.

Hammuka segera memakai sarung karet, membuka kelopak mata Hans. Dugaannya benar, mata itu memerah. Satu polisi yang bersamanya mengawasi dengan rasa ingin tahu.

Kasyaf (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang