Bab 6 Demimu

39.7K 5.9K 424
                                    

Hammuka tahu keberadaannya di sini sangat dibutuhkan. Oleh Jeya, tentu saja. Dia ingin gadis itu bisa berbaur dengan santri-santri yang berduka. Sekadar memeluk atau saling menguatkan atau menumpahkan emosi karena kehilangan yang mendadak.

Setelah ikut menyalatkan jenazah, Hammuka kembali ke halaman rumah Abah Idrus, bergabung dengan masyarakat yang takziah. Sesekali matanya mengabsen keberadaan Jeya. Gadis itu masih memeluk Nisma. Emosi berlapis-lapis disembunyikan dalam-dalam.

"Bodoh, menangis saja kalau mau menangis. Tidak akan ada yang menyebutmu cengeng. Kalaupun ada, mereka tidak berhak menghakimimu. Rasa sakit yang kamu sembunyikan justru menambah bebanmu." Hammuka menggumam, merasa janggal dengan dirinya sendiri, "ck, kenapa aku peduli? Mau sok kuat, itu urusannya. Hammuka, apa yang terjadi padamu?"

"Terima kasih sudah hadir di sini." Faridh mengepalkan tangan saat keranda mayat diangkat oleh empat orang. "Setelah pemakamannya nanti, aku akan membuat surat pernyatan di mapolres."

Hammuka menepuk bahunya. Tidak ada kalimat yang diucapkan. Seseorang yang sedang berduka tidak memerlukan kata mutiara. Yang mereka butuhkan hanya hati yang meneguhkan.

"Oh ya, kalau boleh tahu, siapa mereka?" Hammuka menunjuk sekelompok wanita berkerudung pashmina. Penampilan mereka beda dengan kebanyakan orang yang bertakziah. Lebih modis dan cantik. Maksudnya begini, jika Jeya dan teman-temannya hanya memakai kerudung sederhana yang memanjang menutup dada, kemeja katun yang nyaman, beberapa di antara mereka malah memakai batik, dan sarung. Khas sekali dandanan santri yang sederhana, namun menimbulkan kesan mendalam. Mereka, sekelompok wanita itu memakai jeans, kaos hitam yang dipadukan dengan pashmina yang hanya disampirkan di bahu mereka. Make up? Jelas mereka memakainya.

"Mereka adalah mantan wanita tuna susila dari lokalisasi Pasirharjo-Talun yang diasuh oleh almarhumah istriku. Jadi, sepulang memberikan pengajian dari tempat mereka, istriku dibegal dan cerita berakhir seperti ini. Apa sudah ada yang menemukan putra sulungku? Sudah kuikhlaskan, apapun dan bagaimanapun kondisinya, Insya Allah aku siap mendengarnya." Selain kesedihan yang mendalam, Hammuka tidak menangkap apa-apa di mata Faridh.

"Belum. Jika ada kabar, aku pasti segera memberitahumu." Hammuka agak mundur, mengambil belly buster dan menyambungkan alat komunikasi itu dengan Vanno. "Van, tolong selidiki lokalisasi Pasirharjo di kecamatan Talun."

"Ada kabar terbaru. Benar analisis Jeya, pelaku menyelip lewat gang rumah penduduk, bukan jalan protokol. Ada beberapa warga yang melihat. Tapi, enam orang warga itu tidak melihat pelaku membawa anak kecil." Vanno memberikan informasi tambahan.

Kening Hammuka berkerut. Dia melihat jenazah mulai dibawa menuju lokasi pemakaman. Mata pria itu berkeliling, mencari keberadaan Jeya. Sial, gadis itu tidak bersama Nisma lagi.

"Oke, kirim alamat lengkap saksi Daniran dari kelurahan Sutojayan."

"Ada apa?"

Hammuka sudah mematikan panggilan, kemudian melambaikan tangan pada adiknya. Nisma peka, dia mundur dari kerumunan santri agar bisa menghampiri sang kakak.

"Jeya ke mana, Nis?"

Nisma menggeleng.

"Cari di kamarnya, ada tidak. Sekarang." Perintah Hammuka tidak mau menunggu. Nisma segera berlari, masuk ke pesantren putri dan mencari keberadaan Jeya. Di sini hanya ada tiga tempat yang digunakan oleh calon kakak ipar. Kalau tidak di kamar, pasti di ruang pengurus atau dapur Abah Idrus. Kabar buruknya, ketiga tempat itu tidak menunjukkan keberadaan Jeya. Sama sekali.

Nisma kembali menemui kakaknya, menceritakan yang dia lihat. Hammuka memejamkan mata. Dia ingat bahwa Jeya pernah membaca BAP saksi. Dari resume itu, dia pasti tahu alamat Daniran. Pria itu berlari, meninggalkan Nisma yang ingin tahu, untuk mengejar waktu sebelum terjadi hal buruk.

Kasyaf (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang