Bab 13 Cicak

37.4K 5.3K 379
                                    

Jeya melongo, mengedip, melotot, menganga lagi, berkedip lagi, membesarkan matanya yang sudah seukuran bola pingpong, pas melihat Hammuka mengambil separo cilok sisanya. SISANYA. Pasti ada ludah atau bakteri yang berpindah dari mulutnya ke mulut pria itu. Apa tidak jijik? Jeya mau bertanya, tapi rasanya tidak etis. Jadi, cuma bisa menggigiti bibir bawah sampai memerah.

"Anggap saja ini suapan dari bibir ke bibir secara tidak langsung. Lagipula, aku lapar...," gersahnya, melihat pedagang cilok, lalu mendesahkan napas berisi ketidakpercayaan.

Seumur-umur, selepas usianya 4 tahun, dia tidak pernah mengonsumsi makanan pinggir jalan. Tidak higienis, kata almarhum ibunya. Dan, dinasehati begitu, dia patuh saja. Tidak pernah sekalipun membantah. Tapi, setelah mencicip beberapa butir, 2,5 butir, tepatnya, ternyata rasanya enak. Cacing-cacing di perutnya langsung menyambutnya dengan pesta. Tapi, pesta itu harus segera dihentikan.

Cilok habis, Guys.... Bisik Hammuka pada barisan cacing yang berdemo.
"Aku sudah menemukan lagi alibi yang bisa membebaskan ayahmu dari tuduhan." Hammuka bicara setelah penjual cilok pamit pergi.

Jeya berdiri, berlari meninggalkan Hammuka.

"Jei! Jei!"

Hammuka melihat Jeya memegang tangan seorang pria paruh baya. Fisiknya tinggi besar, rambut memutih sebagian, berkacamata presbiopi dan setelan jas yang berbahan bagus. Wajah orang asing yang dihampiri Jeya mengingatkan Hammuka pada foto Benny Narayan. Tanpa membuang waktu, dia segera menyusul.

"Kenapa kamu mentransferiku uang setiap bulan selama sepuluh tahun terakhir ini? Apa alasanmu?" Jeya menahan diri agar tetap tenang, tidak ingin memancing perhatian orang yang lalu lalang di sekitarnya.

Hammuka tahu, cara menginterogasi Jeya sangat bar-bar dengan kemungkinan berhasil nyaris 0%.

"Kamu siapa?" Benny menaikkan kacamata, meneliti perawakan Jeya dari bawah hingga atas, kemudian terfokus pada wajahnya.

"Hans Wijaya. Ingat?"

Benny hening, dua menit setelahnya tersenyum kebapakan, "apa kabar, Nak?"

"Cukup menyedihkan karena aku sekarang berhadapan pada orang yang tahu alasan kenapa ayahku dipenjara. Jangan pikir, aku tidak tahu. Ceritakan padaku, siapa pria itu, pria yang membunuh polwan di Lodoyo Mart!" Jeya menekan nada bicaranya agar tetap rendah, tapi pita suaranya tidak mau diajak kerja sama. Yang keluar justru bunyi falsetto yang tidak enak didengar.

Hammuka yang sejak tadi diam, mengambil bagian untuk mengintimidasi, "Hans hari ini keracunan. Entah tidak sengaja atau ada yang merencanakan untuk membunuhnya. Dengan bukti yang kami miliki, bahwa Gunadharma Foundation selalu mengirim uang pada rekening Jeya, aku bisa saja menjadikan kamu sebagai tertuduh."

"Apa kamu gila? Jika ada sepuluh lembaga amal yang bersedekah padanya, itu artinya mereka juga tersangka?" Benny mundur, menjaga jarak, "dengar," pandangannnya terarah pada Jeya, "Gunadharma Foundation adalah lembaga amal milikku. Hans adalah mantan pegawaiku yang sangat kompeten dan berintegritas. Setahuku, kamu belajar di pesatren, yang pasti membutuhkan biaya untuk membeli keperluan mengaji, makan, dan sebagainya. Setelah ayahmu masuk ke penjara, tentu tidak ada lagi yang menafkahimu. Itulah gunanya lembaga amalku, mengawal anak-anak yatim piatu. Oh ya, estimasi dana yang masuk dalam rekeningmu sesuai dengan kesepakatan kami. Tidak ada yang tidak sesuai prosedur."

"Bohong!" Jeya menyipitkan mata, "alasanmu adalah kasihan. Kamu harus membiarkan anak buah kesayanganmu dikriminalisasi oleh anakmu sendiri. Anakmu terlibat bisnis narkoba yang diselidiki polwan itu. Memanfaatkan keadaan, dia menyuruh ayahku mengambil berkas di dalam kardus, yang di dalamnya sudah ada pistol. Ayahku tidak sengaja menyentuhnya. Didorong sifat egois yang merajai hatimu, kamu menyuruh ayahku menyerahkan diri. Dengan imbalan, menjamin kehidupanku sampai ayah dibebaskan. Kamu juga berjanji akan menyewa pengacara terbaik agar hukuman penjara ayahku ringan. Brengsek!"

Kasyaf (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang