Bab 10 Pumpkin

37.5K 5.3K 677
                                    

Melihat sepuluh pasang mata yang terfokus padanya, mendengar Hammuka membacakan akta siap menikah, semakin menguatkan niat Jeya untuk berubah wujud menjadi amoeba atau paramecium atau makhluk bersel satu lainnya. Jika itu mustahil, maka idenya berlari pada sebuah film kegemarannya saat SMP, Harry Potter, yang memiliki jubah gaib sehingga bisa tersembunyi aman. Dua ide itu sangat mustahil, sentak otaknya yang waras. Serius, lebih baik tersesat di gurun Sahara selama seminggu daripada menghabiskan waktu di ruang ini, barang semenit sekali pun.

Hammuka masih membaca surat perjanjian yang ditandatanganinya dan diperkuat oleh materai. Kata Hammuka, mereka memang belum menikah, tapi surat ini memiliki landasan hukum jika salah satu berkhianat, yang satunya bisa menuntut. Bahkan, kabar sintingnya, dalam surat itu, disebutkan konsekuensi jika kedua belah pihak membatalkan pernikahan.

Seumur hidup, melihat orang mau menikah, tidak ada yang seunik Hammuka. Dan, Jeya benar-benar tidak tahu tujuan pria itu. Mungkin, otaknya sedang cuti, duganya malas.

Siksaan batin itu baru selesai setelah teman-teman Hammuka bersorak. Tapi, kembali tertekan mana kala mereka menandatangani surat itu sebagai saksi. Hidupnya terasa di bawah kendali seorang tiran paling kejam sejagad raya. Tiran itu bernama Hammuka Mughlak.

"Kamu serius dengan perjanjian itu?" Vanno agak merendahkan suara.

Hammuka mengiyakan.

"Sinting!"

Jeya setuju dengan makian Vanno.

Miris, baik Jeya maupun Vanno tidak paham ketakutan Hammuka. Pria itu takut Jeya meninggalkannya. Bukan karena membencinya, tapi merasa tidak pantas untuknya. Gadis itu memang selalu bicara apa adanya, tapi mentalnya tidak tahan uji. Saat menyadari dirinya buruk, Jeya akan pergi diam-diam, seperti tadi. Dan, Hammuka tidak mau hal itu terulang. Biarkan saja Hans membunuh ibunya.

Urusannya dengan Jeya adalah tentang cinta, bukan dendam. Lagipula, Hans sudah masuk penjara. Apa yang sudah dilakukan olehnya, biar ditebus pula olehnya. Bukan Jeya.

***

"Apa ini? Kasusmu?" Jeya melihat sebuah map tebal yang dionggokan di sisinya.

"Ingin bertemu ayahmu tidak?" Hammuka tidak tersenyum sama sekali. "Baca ini, setelah itu aku akan mengantarmu."

Jeya nyengir, tidak ada mood membaca berkas setebal itu. Setelah Hammuka pergi, dia berencana kabur, menghirup udara segar di luar.

"Setelah membaca ini, kamu tidak punya pilihan untuk lari dariku. Setelah kamu tahu, tanda tanganmu bermaterai itu benar-benar akan memukulmu telak jika kamu berani menjauhiku." Hammuka menang kali ini. Dia tersenyum separo. Jenis senyum yang membuat jantung Jeya berdetak-detak nakal, sekaligus senyum yang menyihir kulitnya jadi merinding.

Jeya berusaha mati-matian mengalihkan pandangannya dari Hammuka. Dia melihat map itu. Keningnya mengerut karena membaca nama ayahnya di sana. Hans Wijaya. Duuhh. Jangan bilang ini berkas milik ayahnya! Dia buru-buru membuka map, membaca resume berita acara. Perkiraannya tidak meleset. Hans yang ada di map ini adalah hans yang sama dengan nama ayahnya.

Jeya memandangi Hammuka. Kehabisan kata-kata.

"Ayo," kata Hammuka berjalan lebih dulu.

Dari sekian tempat yang dia rencanakan ingin dikunjungi dengan ayahnya, penjara bukanlah salah satunya. Bahkan dia tidak pernah membayangkan akan dipertemukan di tempat seperti ini. Selama sepuluh tahun tidak bertemu, apa yang sudah terjadi pada ayahnya?

***


Jeya memandangi ayahnya yang duduk di depannya tanpa kedip. Dia, sejak dua menit lalu, menahan napas. Hans menunduk, meremas tangannya yang berkeringat.

Kasyaf (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang