Bab 16 Samsara

43.2K 5.3K 478
                                    


Seperti ruang yang disediakan di rumah sakit, mereka tak pernah tahu siapa yang akan menghuninya esok atau lusa atau di masa depan. Ruang-ruang itu tidak pernah berontak jika ditempati oleh pengidap penyakit kelamin atau penyakit yang lebih buruk dari itu. Mereka tetap berbentuk persegi, dilengkapi ranjang pesakitan, nakas, beberapa kursi dan untuk tempat tertentu ada peralatan khusus yang digunakan untuk menunjang proses pengobatan.

Itulah yang dialami Jeya sekarang. Dia tidak pernah tahu siapa yang akan datang dan juga pergi, siapa yang membahayakan dan siapa yang harus dikasihi. Namun, Jeya yakin, kedatangan Nisma kali ini bukan untuk bermanja-manja sebagaimana sebelumnya. Di mata gadis remaja itu hanya ada dendam dan luka. Dua hal yang menyeramkan untuk dilihat. Dua hal yang mampu menghentikan larinya tanpa aba-aba.

Jeya memandangi pintu yang ditutup perlahan oleh Nisma, lalu melirik ayahnya yang memasang ekspresi hati-hati. Matanya terfokus pada pisau yang tergenggam di jari-jari adik Hammuka, erat. Awalnya, Jeya pikir, Nisma akan menyerang ayahnya. Bukan, bukan ayahnya yang akan dijadikan target oleh pisau itu.

Tapi, dirinya.

Dirinya.

Jeya tersentak, dadanya terangkat tinggi-tinggi. Udara mendadak lenyap dari sekitar. Tak lama, namun cukup membuat pasokan oksigen di paru-parunya menipis. Kedua tangan Jeya mengambang di udara, kemudian mundur ketika Nisma bergerak maju.

"Nisma, tolong letakkan pisaumu. Jangan main-main dengan benda itu," nasehat Jeya, suaranya terdengar gemetar.

Nisma menarik senyum separo, "kamu takut?"

Jeya tidak bisa memungkirinya bahwa ada sebagian dari dirinya yang merasa ngeri. Kalau benar cerita Hammuka dini hari tadi, Nisma tidak akan berpikir dua kali untuk menghabisinya.

"Aku hanya tidak ingin gadis sebaik kamu menggunakan tangan itu untuk membunuh. Membalas dendam tidak akan memuaskan hatimu. Justru, semakin menyakiti dirimu sendiri. Jadi, Nisma, tolong turunkan pisau itu. kita bisa bicara baik-baik." Jeya memutuskan untuk tidak mundur lagi. Pelan tapi pasti, dia menghampiri Nisma. Masa bodoh pada benda tajam yang sekarang teracung padanya. Jauh di lubuk hati Nisma, Jeya tahu bahwa gadis itu menyukainya.

"Untuk apa bicara baik-baik, sementara aku bisa bicara tidak baik-baik sekarang? Lagipula, untuk orang yang sudah merebut perhatian Mama, aku tidak memiliki pengampunan." Nisma menyabetkan pisau. Jeya mengelak, tapi karena gerakan Nisma lebih cepat, lengan Jeya tergores. Darah merembes pada baju yang dikenakannya. Berikut, rasa ngilu karena daging sobek.

"Mama?" Jeya menelan ludah, "oke, kamu salah paham. Ayahku memang dijadikan tersangka karena sudah menembak ibumu, tapi, abangmu sudah menemukan bukti baru. Bahwa bukan ayahku yang telah menghabisi ibumu. Kamu-"

Nisma meneteskan airmata, "aku tidak akan membiarkanmu mengambil orang yang kucintai."

Jeya membuat gerakan zigzag. Nisma mengelak dengan serong ke kiri. Kesalahannya mengambil strategi, dimanfaatkan Jeya sebaik mungkin. Dia memukul bahu Nisma lalu memiting dua tangan lawannya ke belakang.

"Tenang, Nis. Aku akan menjelaskan semuanya. Aku tidak merebut orang yang kamu cintai. Tidak akan pernah. Bukankah kamu menyukaiku dan berniat menjodohkanku dengan abangmu? Kamu percaya padaku, kan?" Jeya berkata penuh rayuan sambil memegangi Nisma erat-erat. Besar harapannya agar Nisma terpengaruh.

Di sisi lain, melihat putrinya dalam bahaya, Hans segera mencabut jarum infus. Rasa sakit memaksanya mengerang, beberapa cairan infus tercecer di kulitnya, beberapa bercak darah juga terlihat, tapi dia tidak punya banyak waktu. Kakinya mengambil alih. Dengan tubuh sempoyongan, dia berdiri di depan Nisma.

Nisma mengedip, melihat Hans di depannya dengan stamina yang belum stabil menyuntikkan ide baru di kepalanya, "jika aku membunuhnya, kamu akan tahu rasanya kehilangan orang yang kamu cinta!"

Kasyaf (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang