Bab 9 Memilikimu

40.2K 5.4K 533
                                    

Sesampainya Jeya di pesantren, melewati ruang pengurus, Hafsyah langsung menghadangnya. Ketua pesantren putri itu membawanya masuk ruangan yang sering dijadikan tempat untuk lalaran kitab klasik. Tidak lupa, pintu dikunci. Agak mencurigakan bagi Jeya. Tidak biasanya suasana senyap seperti ini.

Mata Jeya berkeliling, "ada apa, Mbak Hafsyah? Tumben sepi. Pengurus lain ke mana?"

Hafsyah menuju mejanya, menarik laci kemudian mengeluarkan amplop cokelat, "aku menyuruh mereka pergi sejak tadi. Mbak Jeya, boleh aku bertanya sesuatu?"

Jeya duduk lesehan di lantai, sejauh semeter, Hasfyah bersimpuh.

"Aku ingin kamu menceritakan tentang hal ini." Amplop itu disodorkan.

Jeya membuka isinya, melihat lima lembar foto dirinya bersama Hammuka. Foto pertama, Jeya memegang jaket bagian belakang Hammuka. Foto kedua, Hammuka duduk di motor dan mereka berpandangan, amat dekat. Foto ketiga, Hammuka mengejarnya. Foto keempat, Hammuka memegang pergelangan tangannya. Foto kelima, dia menangis dan Hammuka menatapnya simpati. Pandangan Hammuka tadi tidak sehangat ini, pikirannya kembali berkelana, mengingat ekspresi Hammuka yang seperti biasa, tidak sedekat-seakrab dalam bidikan kamera, seingatnya.

"Apa kamu memanfaatkan keluar dari pesantren untuk menemuinya, Mbak?"

Jeya meletakkan foto itu ke lantai, "apa yang kamu inginkan?"

Hafsyah tersenyum, "aku ingin kamu menjaga jarak dengan pria. Aku tidak mau nama baik pesantren ini menjadi tercela karena satu santri."

"Aku tahu. Maafkan aku."

Hafsyah mengambil kembali foto-foto itu kemudian memasukkan lagi ke dalam amplop, "jika ini terulang, aku tidak segan-segan melaporkanmu pada Bu Nyai. Aku tidak mengancammu. Sungguh. Bukankah kamu selalu menghukum santri yang melanggar aturan? Kira-kira, jika aku menyebarkan ini, apa kata dewan asatidz, pengurus, dan santri?"

Jeya mengangguk, "tapi, dari mana kamu mendapatkan ini? Apa kamu menguntitku?"

"Tidak, urusanku lebih penting daripada mengikutimu. Aku mendapatkan ini dari seseorang. Dia mengirimkan ini melalui layanan jasa pengiriman barang. Dikirim untuk ketua pesantren, tanpa namaku, memang. Tapi, bukankah aku yang menjabat ketua?" Hafsyah berdiri, "ini peringatan pertama. Yang kedua nanti, qanun-qanun pesantren yang akan menindakmu."

***

"Mbak! Mbak Jeya!" Nisma berdiri di depan Jeya yang melamun.

Di tangan Jeya ada kitab Iqna', tapi bukan untuk mengulang lagi bab yang dibahas kemarin malam, melainkan memikirkan siapa yang mengambil fotonya lalu mengirimkan itu ke pesantren. Dia memang memberi jarak pada orang yang ingin dekat dengannya, tapi se-anti sosial dirinya, tidak ada yang memusuhinya. Tidak suka pada seseorang wajar, tapi kalau mendengki lalu menghasud dengan cara murahan semacam ini, rasanya tidak lumrah. Bukan gaya seorang santri. Pelakunya pasti orang dari luar. Buktinya, nama Hafsyah tidak ditulis pada kiriman itu.

"Wah, tulisan pegon Mbak bagus!" Nisma memuji setelah melihat kitan kuning milik Jeya kemudian duduk tanpa disuruh.

Jeya menutup kitabnya, "Abang mana?"

"Kerja mungkin, Mbak. Kenapa? Kangen, ya?" Nisma menunggu jawaban dengan tidak sabar. Dia tidak sedang menggoda, serius, dia sedang bertanya dengan sungguh-sungguh.

"Iya, kangen banget. Padahal tadi sudah ketemu."

Nisma terkikik, Jeya membalas sekadarnya.

"Abang sudah nembak Mbak Jeya?"

Jeya mengerutkan kening, kemudian setelah paham maksud "nembak", dia pun tertawa, "tapi, aku takut Abang menyesal, begitu juga kamu."

Nisma berhenti tersenyum.

Kasyaf (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang