Bab 8 Noktah

35.8K 5.5K 373
                                    

Hammuka berdiri ketika Virda datang. Gadis itu memakai kemeja putih yang transparan pada bagian lengan, bawahan berupa skirt ketat warna gelap. Meski panjang hingga tempurung kaki, androk yang dikenakan tidak bisa menyembunyikan kakinya yang jenjang. Bibirnya diberi sentuhan lip tint merah muda. Ada beberapa titik make up, tapi sama sekali tidak berlebihan. Caranya berdandan mirip artis Korea yang selalu mempertahankan contour wajah yang natural.

Cantik. Pantas saja, Vanno mati-matian menyuruhnyaa datang di sini. Tapi, bukan kencan atau makan siang yang membuatnya setuju untuk bertemu. Kisah masa lalu Jeya amat penting. Virda pasti memiliki cerita tentang itu.

"Hai, maaf, menunggu lama. Tadi Jeya datang dengan dua santri. Salah satunya harus dijahit kepalanya karena jatuh di kamar mandi. Aku benar-benar minta maaf karena terlambat." Virda tersenyum sederhana.

"Dokter terlalu sibuk, mengurusi pasien sampai lupa untuk punya pasangan," canda Hammuka, mempersilakan Virda duduk.

"Apa polisi tidak begitu juga?"

Hammuka menahan tawa, "kalau tidak, tentu aku sudah punya pacar."

"Bukankah kamu dekat dengan Jeya?" Virda menarik daftar menu, memilih makanan yang cocok untuk siang ini. Harus non kolesterol dan tidak mengandung banyak karbohidrat.

"Aku?" Hammuka menggeleng geli, "hanya karena dia menemani adikku yang sedang demam, bukan berarti kami dekat satu sama lain. Kamu sendiri bagaimana?"

Virda membuka bibir. Tidak menyangka Hammuka akan terus terang seperti ini. "Belum. Belum menemukan pria yang tepat."

"Baguslah." Hammuka melipat tangan, "Untuk menjadi dokter, kamu pasti melewati masa muda yang sangat berat."

"Sebelum Jeya menghilang, masa remajaku baik-baik saja. Dia adalah lawan yang tangguh dan karismatik. Kami berkompetisi, juga bersahabat. Sampai akhirnya dia tidak berangkat ke sekolah lagi, sejak saat itu hari-hariku sangat berat. Aku tidak menemukan teman berdebat, belajar dan bertanya." Virda tersenyum kecil, mengingat-ingat masa SMAnya.

"Kenapa Jeya tidak bersekolah lagi?"

Virda menghela napas, "aku tidak tahu pasti. Gossip yang tersebar saat itu..., Jeya ditemukan tidak sadarkan diri. Darahnya mengandung alkohol dan tendanya ada alat bantu seks. Banyak yang bilang bahwa Jeya...," Virda menggigiti bibir bawah, "yah, itu saja yang kuketahui. Aku ingin bertanya langsung padanya. Sayang, setiap kali aku menyinggung masa lalunya, dia selalu menghindar. Ehm, apakah ini etis, Kak, menceritakan keburukan orang lain? Aku takut Jeya tidak suka pada tindakanku."

Hammuka membenarkan, "yah, lebih baik kita membahas tentangmu saja atau menu di sini yang patut dicoba."

Virda tersenyum. Anggun sekali saat dia menyibakkan rambut ke belakang telinga. Gadis yang seperti ini adalah kriteria Hammuka. Seharusnya, dia sekarang sibuk membuat Virda terkesan. Tapi, dia tidak bisa mengontrol logikanya yang terus-terusan memikirkan Jeya.

Berkas milik Jeya sudah dibaca semalam suntuk. Diteliti sampai Hammuka hapal setiap kalimat di dalamnya. Jeya mengatakan ada yang mencoba memperkosanya, tapi dia tidak bisa ingat siapa pelakunya karena mabuk. Selanjutnya, kasus itu ditutup dengan alasan bahwa Jeya mabuk sehingga berhalusinasi. Hal itu diperkuat hasil laboratorium bahwa tidak ada sperma di dalam alat kelaminnya, justru polisi menemukan alat bantu seks. Semua alasan itu masuk akal, apalagi diperkuat oleh cerita saksi yang menyatakan bahwa selama dua hari, hanya Jeya yang berkemah di sana. Damar kemarin malam tidak berbohong.

Baiklah, kalau laporan itu menunjukkan fakta di lapangan, pasti ada yang berbohong. Entah pelaku yang cerdas membuat alibi agar selamat atau Jeya yang tidak jujur.

Kasyaf (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang