Elena: "Mereka seperti dua matahari yang saling bermusuhan."

288 9 0
                                    

Tanpa pernah kuduga, Senja menciumku. Memang, dia sudah bertanya apakah dia boleh menciumku atau tidak, tapi dia sudah melakukannya bahkan sebelum aku memberikan jawabanku padanya.

Ciuman Senja kali ini berbeda. Terasa lebih menurut tanpa menuntut. Seperti ada sesuatu yang bersarang di pikirannya, ingin diutarakan tapi tak kuasa dikeluarkan. Memang, tak jarang kutemui Senja yang diam dan seperti sedang memikirkan sesuatu di tengah kesibukannya. Namun setiap kali kutanya, jawabannya selalu 'aku tidak memikirkan apapun.' Dan beberapa saat tadi, aku mendapatinya kembali menjadi demikian.

Esok paginya selepas subuh, setelah berhenti di salah satu restoran cepat saji untuk membeli sarapan, aku dan Senja kembali ke Jakarta. Jalan bebas hambatan Bogor-Jakarta tidak bisa diprediksi. Kau bisa tiba lebih cepat, atau sangat terlambat – meskipun kau berangkat pada jam yang sama. Senja mengemudi santai pada kecepatan yang konstan, mobilnya melaju stabil. Jalan bebas hambatan Jagorawi hari ini sedikit lebih bersahabat.

Kami tiba di Jakarta sedikit terlambat, seperti yang aku bilang tadi. Setelah mengucap sampai nanti sekenanya pada Senja, aku bergegas menuju meja kerjaku, membuka laptop. Ada satu pesan masuk dari Senja yang berisi hasil analisanya terhadap calon pegawai baru yang kami seleksi dua hari lalu. Segera kugabungkan dengan data milikku untuk kemudian kuserahkan pada bagian rekrutmen.

Langit mulai petang ketika aku memutuskan untuk menyeduh secangkir kopi panas. Pekerjaanku baru separuh selesai, dan sepertinya malam ini aku harus bekerja lembur agar semuanya bisa diselesaikan. Mendadak, aku seperti kembali pada beberapa masa yang lalu, tepat ketika aku belum berkomitmen dan berjalan dengan Senja. Seperti baru kemarin, ketika aku sepenuhnya menghabiskan seluruh waktuku untuk bekerja – hanya untuk bisa mengenyahkan bayangan Asa, hanya agar aku tidak dikuasai rindu.

Aku memutuskan untuk menelpon Senja, memberitahunya aku akan lembur malam ini. Kuraih ponselku, dan kutekan simbol telepon di ujung kanan. Nama Senja ada pada urutan teratas histori panggilanku.

"Senja, aku lembur hari ini. Ada beberapa data yang harus aku selesaikan hari ini juga." Kataku pada Senja setelah telepon tersambung.

"Aku sudah dalam perjalanan pulang. Kau mau aku berbelok dulu ke pusat?" Senja bertanya. Aku ingat Senja ditugaskan untuk menggantikan pimpinan bagian kredit yang hari ini sedang ijin untuk mengurus masalah mangkir ke wilayah barat. Dalam beberapa hal yang berkaitan dengan pekerjaan, Senja - yang menjabat sebagai supervisi di bagian analisa - terkadang bisa juga menjadi supervisi yang sangat ahli di bagian kredit. Atau di  bagian lainnya.

"Tidak usah. Aku sebentar lagi selesai." Ujarku.

"Baiklah. Jangan pulang terlalu malam dan jangan minum kopi terlalu banyak. Kau butuh tidur." Katanya.

Aku menyesap kopiku perlahan, menikmati hangatnya campuran rasa manis dan pahit yang beradu di lidahku seraya menatap pemandangan jalanan di bawah gedung pusat. Pukul tujuh malam, kendaraan masih berlomba-lomba memenuhi jalanan, merayap seperti siput, bergerombol layaknya barisan semut. Saling mendahului untuk segera tiba di tujuan. Bunyi klakson bersautan, seakan saling berteriak untuk memperingatkan sesama pengemudi untuk bergegas memberi jalan.

Pada saat-saat seperti inilah, aku selalu teringat akan Asa.

Aku mendesah. Sekali lagi teringat pertemuanku dengannya tiga hari lalu. Seperti ada sesuatu yang ingin disampaikannya, tetapi kebencian selalu menguasaiku setiap kali dia berada di sekelilingku. Seperti tombol otomatis yang menghasilkan tameng dan menciptakan jarak. Membuat apa pun yang dikatakannya terdengar seperti bualan di telingaku. Mungkin begitu pikiranku memaku semua hal tentangnya. Penolakan.

Pada satu hal, ketika aku bertemu dengan Senja, aku teringat pada Asa. Mereka memiliki satu kesamaan. Serupa nama. Mereka berdua serupa matahari. Namun bagiku, Senja seperti matahari yang bersinar saat temaram, dan Asa seperti matahari yang justru meredup ketika seharusnya benderang. Serupa nama. Serupa arti. Tapi mereka seperti dua matahari yang saling bermusuhan.

Saku blazerku bergetar. Melepaskanku dari barisan kendaraan yang semakin rapat, dari bunyi klakson yang semakin nyaring beradu. Kuraih kembali ponselku. Satu pesan masuk. Dari nomor yang tak kukenal. Pesan yang membuat tombol otomatis itu kembali aktif.***

Matahari SenjaWhere stories live. Discover now