Arva: "Selama ini, dia hanya sedang berusaha sekuat tenaga."

259 7 0
                                    

Itu dia. Khey. Aku sudah bisa menebaknya meskipun mataku masih belum bisa menangkap penuh dirinya. Bahkan bagaimana caranya berjalan telah terpetakan dengan sangat baik di dalam kepalaku. Ketukan sepatunya yang super tinggi seperti irama lagu di telingaku. Entahlah, tapi rasanya gelenyar yang sangat melegakan mengaliri tubuhku. Membuat bebanku seakan sepenuhnya terangkat.

Khey semakin dekat. Aku tahu aku tidak boleh terlampau bahagia melihatnya, tapi aku nyaris tak bisa menahan rasa itu. Melihatnya berjalan semakin dekat dan memperpendek jarak kami sungguh sangat membuat kebahagiaan di dadaku meluap-luap. Sesaat, aku merasa menjadi orang yang brengsek sekaligus paling beruntung di tempat ini.

Angin malam ini bertiup cukup kencang. Sepertinya, sebentar lagi langit akan menumpahkan butir-butir airnya. Khey sempurna telah berdiri di hadapanku. Rambut panjangnya beterbangan tertiup angin. Jam kerja telah berlalu, tapi gadis ini masih saja terlihat rapi - dan tentu saja, cantik. Khey tidak mengeluarkan sepatah kata pun setelah kami berhadapan, tapi juga tidak pergi begitu aku belum juga bersuara. Dia hanya melipat kedua tangannya di dada, berusaha menghalau angin.

"Kau tidak pernah bilang padaku kau kerja di tempat ini." Kataku akhirnya.

"Aku tidak merasa pernah berjanji apa pun padamu, termasuk memberi tahumu di mana aku bekerja." Ujarnya.

"Kau membuatku menjadi lebih sulit untuk menemukanmu, Khey. Kau tahu Jakarta bukan kota yang kecil." 

"Dengar, Asa. Aku tidak pernah menyuruhmu untuk mencariku, atau untuk bertanya di kantor Antam di mana aku ditempatkan. Aku sudah bilang padamu dulu, jangan repot-repot untuk memperbaiki keadaan." Katanya. Ah, jadi dia sudah tahu dari mana aku mendapatkan informasi tentang tempat ini.

"Aku tahu Ayu menemuimu." Kataku lagi kemudian. Khey melangkah menjajariku, turut memandangi gedung berwarna biru di belakang kantornya dengan bersandar pada mobilku.

"Dan aku tidak menyesal pernah menamparnya." Katanya. Dan aku pun tidak berusaha untuk menyanggahnya.

Beberapa saat berlalu dalam hening. Angin semakin kencang bertiup, membuat Khey harus lebih erat melipat tangannya. Deru mesin kendaraan dan suara klakson di belakang kami masih jelas terdengar. Jalanan pusat kota Jakarta masih sangat padat, kemacetan menjadi satu makanan sehari-hari bagi semua penduduknya di sini.

"Asa," suara Khey lirih memanggilku. Aku menoleh. Gadis ini tengah menatap ujung cahaya tertinggi dari gedung biru yang sedang kami pandangi. Lekat, ia memandang dengan lekat. Namun, kosong.

"Kenapa... kenapa dulu kau meninggalkanku?" Aku tersentak, tak pernah menyangka pertanyaan itu akan keluar dari mulutnya. Kupikir kata-katanya yang pedas dan tegas setiap kali bicara denganku adalah karena ia telah sepenuhnya lupa pada apa yang pernah terjadi dulu. Dan karena luka-luka juga sakit hatinya membuatnya penuh dengan kebencian setiap kali melihatku. Ternyata, pertanyaannya kali ini sepenuhnya membuatku yakin, Khey masih berusaha. Berusaha untuk meredamkan sakit hatinya dulu. Berusaha untuk terus menyembuhkan luka-lukanya. 

Gadis itu kini memandangku. Raut mukanya sendu, mengingatkanku akan Khey bertahun lalu, di pertemuan terakhir kami. Khey yang berurai air mata.

Aku memeluknya, merengkuhnya erat ke dalam tubuhku. Aku tidak peduli jika Khey marah atau berusaha melepaskan diri, atau bahkan menamparku seperti yang dia lakukan pada Ayu. Namun, dia tidak menolak, tidak juga membalas. Tubuhnya sedikit dingin karena terlalu lama terkena terpaan angin.

"Maafkan aku." Ujarku pelan di telinganya, nyaris berbisik. Bahu Khey terguncang. Dia terisak.***

Matahari SenjaWhere stories live. Discover now