Elena: "Seperti ada sesuatu yang patah, sekali lagi."

260 7 0
                                    

Setelah pelukan itu, aku merasa beban masa laluku sedikit berkurang. Hanya sedikit. Aku sudah lupa kapan terakhir kalinya Asa memelukku sedemikian erat dan aku menangis sedemikian hebat. Yang pasti, pelukan itu seperti pelukan yang - baru kali ini kurasakan - mendamaikan. Maaf yang tulus. Penyesalan yang dalam. Meskipun pertanyaanku masih tak terjawab. Kurasa, aku mulai bisa berdamai dengannya. Biarlah, terkadang memang ada pertanyaan yang  kita tidak diharuskan untuk mengetahui jawabannya.

Namun, selalu ada masalah baru setiap kau pikir telah menyelesaikan satu masalah lama.

Senja, beberapa waktu belakangan ini, sedang luar biasa aneh. Seperti ada yang sangat menyita pikirannya namun enggan diutarakan. Seperti ada rahasia yang tak bisa dikatakan. Dia seperti kehilangan semangat. Senja yang dulu bagiku selalu bersinar di saat langit mulai temaram, sekarang menjelma menjadi Senja dengan arti harfiah yang sesungguhnya. Kelam dan selalu siap ditelan langit yang menuju malam.

Aku dan Senja menjadi seperti orang asing. Hubungan kami menjadi terlalu hambar. Aku berusaha mencari tahu tetapi Senja sungguh menutup dirinya dan semakin melebarkan jarak setiap kali aku berusaha untuk memangkasnya. 

"Elena," panggilannya yang kini terasa dingin di telingaku. Tiga bulan berlalu dan pada akhirnya - setelah dengan semua kesibukannya, atau usahanya untuk menghindariku - Senja menyuruhku menemuinya di tempat Asa memelukku dulu.

Seperti dejavu, aku merasa seperti kembali di saat aku sedang berdiri memandangi gedung biru di depanku. Bedanya, dulu aku bersama Asa dan sekarang Senja yang mengisi tempat itu. Juga seperti malam itu, malam ini angin bertiup cukup kencang, membuatku harus merapatkan lipatan tanganku di depan dada untuk menghalau angin.

"Mungkin, sebaiknya hubungan kita sampai di sini saja." Begitu katanya. Aku berpaling menatapnya, yang masih setenang air tanpa riak. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Berbeda dengan yang biasanya, kali ini jasnya masih tersangkut rapi menyelimuti kemeja biru dongkernya.

Meskipun pelan dan nyaris ditelan oleh kerasnya deru angin, aku masih bisa mendengar kalimatnya sejelas ketika suasana hening. Sejelas dia berteriak.

Aku seperti kehabisan kata-kata. Atau mendadak pita suaraku pecah, atau bibirku lekat oleh lem yang begitu kuat sehingga aku tak mampu mengeluarkan suara bahkan untuk bertanya mengapa.

Senja merengkuhku ke dalam pelukannya. Erat, kuat. Tapi aku tak mampu membalasnya. Tanganku tak mampu terangkat bahkan untuk menyentuh punggungnya. Otakku seperti kebas, membuat seluruh syarafku lumpuh.

Pelukan itu lama, dan aku belum juga bisa bergerak, atau bersuara. Hanya kudengar napas Senja yang berat terhembus di rambutku. Hingga akhirnya pelukan itu terlepas, dan Senja hanya menyentuh kedua bahuku. Dia lalu mencium keningku. Dalam, lama.

"Live well, Elena." Ujarnya, dan sebelum sempat kucegah, laki-laki itu telah membalikkan punggungnya dan memulai langkahnya. Menjauh. Pergi.

Sama seperti bertahun-tahun lalu, saat Asa meninggalkanku. Saat Asa memulai langkahnya menjauh setelah melepas tanganku. Aku pun tak pernah tahu mengapa Senja mengakhiri hubungan kami.

Aku tidak menangis. Aku bahkan tidak sanggup menangis. Tapi rasanya, seperti ada sesuatu yang patah, sekali lagi.

@@@

Seakan itu semua belum cukup, beberapa hari kemudian, aku mendapat kabar bahwa Senja dipindahkan ke kantor wilayah Bandung. Aku bahkan tidak sempat mengucap perpisahan.

@@@

Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Aku memang tidak menangis meraung-raung seperti saat Asa meninggalkanku. Tapi percayalah, rasanya jauh lebih sakit ketimbang kau mengeluarkan air matamu sebanyak mungkin.

Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Hatiku rasanya sakit sekali. Ditinggalkan tanpa alasan untuk yang kedua kalinya membuatku tahu dengan pasti seperti apa rasa sakitnya. Tapi tetap saja, meskipun aku pernah merasakannya, rasanya tetap masih luar biasa.

Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Memaksa diri - terlebih hati - untuk tidak lagi berlari kembali ke masa lalu teramat sangat sulit. Aku tidak bisa berlari, karena aku tak punya tempat untuk sembunyi. Tidak ada lagi ucapan 'kopi' yang menggantikan sapaan 'selamat pagi', tak ada tawa semi bass dengan mata segaris. Tidak ada...

Ah. Aku mendesah. Malam kesekian sejak kepergian Senja dari kantor pusat sebulan lalu. Aku selalu berdiri di hadapan gedung berdinding kaca berwarna biru langit ini. Tempat yang sama ketika Asa memelukku lalu pergi. Tempat yang sama ketika Senja memelukku, dan juga pergi. Tempat aku ditinggalkan oleh dua laki-laki yang sangat kusayangi. Bekerja lembur tidak mengalihkanku dari rasa sakit yang kurasakan. Melamun dan merokok pun tidak juga meredakan.

Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Dan di bulan kedua, akhirnya aku menyerah dan menangis sejadi-jadinya tanpa suara sambil bersandar pada pintu mobil di hadapan gedung megah ini. Meluapkan semua rasa sakit yang mengumpul. Mengeluarkan semua perih yang tertahan.

@@@

Bulan ketiga. Komunikasi antara aku dan Senja terputus. Dua bulan lalu, aku masih berusaha menghubunginya. Menanyakan berulang kali lewat pesan singkat mengapa dia meinggalkanku. Menelponnya seperti Asa melakukannya padaku. Teror. Setiap hari. Tapi, laiknya yang kulakukan pada Asa, seperti karma, Senja melakukannya padaku. Dan pada akhirnya, aku merasa lelah dan memutuskan untuk menyerah.

Bulan ketiga. Pengganti Senja telah tiba. Salah satu staff terbaik yang dimiliki oleh kantor wilayah Pekanbaru. Namun, dia tidak bisa sebaik Senja dalam menunaikan tugas-tugasnya. Dia tidak bisa sebaik Senja dalam memimpin semua staff divisi yang dibawahinya. Dan dia tidak bisa sebaik Senja dalam bersosialisasi dengan semua divisi.

Bulan ketiga. Aku masih dengan setia berdiri bersandar menghabiskan sisa malam di tempat yaang sama sejak Senja pergi. Tapi aku tak lagi menangis. Aku hanya memilih lebih sering merokok. Rokok selalu bisa membuatku lebih baik. Berangkat kelewat pagi, bekerja lembur, berdiri melamun sambil merokok, dan kembali pulang kelewat malam. Begitu terus. Terkadang aku ingin sekali memacu mobilku menuju Bandung untuk menemui Senja, tapi entah kenapa aku selalu mengurungkan niat itu meskipun - sekali lagi - aku hanya ingin tahu mengapa dia pergi tanpa alasan.

Harapanku selalu sama. Setiap kali aku memandangi gedung di depanku ini setiap harinya, setiap malam, aku selalu berharap suatu saat Senja akan kembali.***

Matahari SenjaWhere stories live. Discover now