Elena: "Mereka yang kau hancurkan hatinya tidak akan pernah lupa"

416 10 1
                                    

Kuinjak pedal gas sedalam mungkin, membuat mobilku melaju nyaris tak terkendali di jalan bebas hambatan dalam kota entah menuju ke mana. Kuhembuskan asap dari batang rokok yang kuhisap penuh emosi, membuatnya dengan terburu bercampur terhisap oleh pendingin mobilku.

Sial Asa. Apa tadi katanya? Dia rindu? Aku mendengus. Hatiku terasa menggelegak, penuh dengan kebencian yang meletup, siap meledak kapan saja. Aku terbiasa dengan permohonan maafnya yang berulang kali hingga membuatku muak. Tapi ini, rindu? 

Memori otakku memutar kembali pertemuan singkatku dengan Asa beberapa menit yang lalu. Kata rindu yang terucap dari mulutnya sukses membuat luka hatiku kembali terbuka. Tanpa sadar, air mataku menitik. Satu, dua, terus-menerus. Kubanting setir mobilku menepi ke bahu jalan.

"Bagi seseorang yang telah kau hancurkan hatinya, bisakah dia melupakannya begitu saja?" Itulah yang kukatakan padanya ketika dia dengan mudahnya mengucap rindu. Aku terisak hebat, semua memori masa laluku yang dengan sekuat tenaga berusaha kupendam jauh seakan terangkat kembali, membuat hatiku luar biasa sakit. Aku meremas bagian depan setelan kerjaku. Apakah Asa tahu bagaimana aku bertahan tanpanya dulu?

Aku memang menghindarinya. Tak pernah menjawab panggilan-panggilannya, tak membalas satu pun pesan yang dikirimkannya ke ponselku. Hingga akhirnya dia menyerah untuk terus menghujaniku dengan pesan maaf dan ingin bertemu yang seperti teror, terkumpul jadi satu pada bagian terbawah pesan tersimpan. Tapi, cukupkah hanya dengan meminta maaf? Nyatanya, berratus maaf yang dikirimkannya tak lantas menyembuhkan sakit hatiku.

Aku merindukan Asa, sangat. Karena hari-hariku setelah dia pergi adalah masa-masa yang paling ingin kulupakan seumur hidupku. Bagaimana rasa sakit itu ketika tiba-tiba Asa memutuskan untuk berhenti menggenggamm tanganku dan berjalan sendiri tanpa sepatah kata pun. Bagaimana rasa sakit itu ketika pertemuan dan percakapan terakhirku dengannya hanya kata-kata kasarnya yang membaur dengan air mataku. Hingga bagaimana rasa sakit itu perlahan mereda saat aku bertemu dengan Senja.

Pernahkah, sekali saja, Asa bertanya padaku apakah aku baik-baik saja saat itu?

Ponselku bergetar. Entah sudah berapa banyak pesan dan panggilan telepon yang tidak kuhiraukan. Kuraih benda itu dari dashboard. Ada 10 panggilan tak terjawab dan 20 pesan yang belum terbaca. Satu panggilan dan pesan dari Senja, dan sisanya adalah Asa. Kembali, dia menerorku dengan hujanan pesan maaf di ponselku. Aku mengabaikannya.

Jam di dashboard mobil menunjukkan nyaris pukul sebelas malam. Aku harus segera pulang. Segera kuhapus sisa-sisa air mataku dengan tisu, menghasilkan efek mata yang nyaris seperti disengat lebah ketika air mataku sepenuhnya menghilang. Kubelokkan kemudi untuk kembali pada lajur. Aku hanya ingin tidur, tanpa mimpi buruk.***

Matahari SenjaWhere stories live. Discover now