Elena: Dia bernama Adrian...

178 7 1
                                    

"Berhenti meminta maaf setiap kau selesai melakukan kesalahan, Asa. Kau membuatku muak." Ucapku ketus bahkan tanpa mengucap halo. Entah sudah berapa kali ponselku berdering sepagi ini, mulai dari aku mengemudi meninggalkan apartemen hingga setelah kopi latte instanku siap kusesap.

Lagi-lagi, kelakuan Asa yang sangat membuatku jengah, dan kali ini ditambah dengan muak yang entah kenapa membuat hatiku benci setengah mati padanya. Seperti sebelum-sebelumnya, Asa selalu menerorku dengan ucapan maaf setiap kali ia merasa bersalah, dan kali ini adalah perbuatan yang disebutnya dengan "kesalahan". Mengingat itu, hatiku kembali didera rasa nyeri yang tak terkatakan.

Tak peduli sedang apa, Asa seperti tak menyerah untuk menghubungiku, bahkan ketika aku sedang rapat, membuat ponselku cepat panas dan kehabisan baterai bahkan sebelum jam kerja sepenuhnya berakhir. Tak pelak, aku berkali-kali terkena semprot Adrian untuk dua hal: pertama karena benda ini tak berhenti berbunyi, dan kedua karena ponselku yang sering mati tanpa kusadari ketika ia berusaha menghubungiku.

Memblokir nomor Asa? Sudah, aku sudah melakukannya tepat ketika laki-laki sialan itu meninggalkan apartemenku setelah meminta maaf. Namun, setiap hal yang berhubungan dengannya tidak pernah menjadi mudah, dan entah kenapa hatiku melemah dan membuka blokiran tadi. Ya, memang aku yang payah, aku tahu.

"Berhenti menghubungiku atau kau akan sama sekali tidak bisa membuat benda ini berbunyi. Astaga Asa, kau menghabiskan waktuku. Aku punya pekerjaan, dan aku tidak ingin kau menjadi alasan aku kembali mendapatkan surat peringatan. Tidak setelah Senja." Tanpa mendengar penuturannya, aku langsung mematikan sambungan, lantas menghela napas panjang. Asa memang selalu tahu bagaimana membuat suasana hatiku menjadi lebih buruk.

"Pagi-pagi sudah teriak-teriak. Sepertinya beberapa hari ini moodmu sedang jauh dari kata baik." Suara lain yang membuatku memutar kedua bola mata pagi ini. Aku membalikkan tubuh, menghadap langsung sang pemilik suara, memasang mimik muka siap berperang dan beradu argumen dengannya, seperti yang sudah-sudah.

"Setahuku apa yang sedang kurasakan atau semua masalahku tak pernah menjadi urusanmu." Ujarku tak kalah ketusnya.

"Memang benar, tetapi ketika sudah berkaitan dengan bagaimana kinerjamu di sini, itu sudah menjadi urusanku. Aku tidak ingin menjadi orang yang harus mengirimkan surat peringatan hanya karena entah apa pun masalahmu. Tidak setelah Senja." Laki-laki itu mengangkat bahu, pergi sembari menyesap kopinya sendiri.

Adrian, laki-laki kedua selain Asa yang selalu tahu bagaimana merusak hariku.

@@@

Aku tidak pernah menyukai Adrian sejak kali pertama ia menginjakkan kaki di kantor pusat dan menggantikan Senja duduk di kursi supervisor bagian analisis. Laki-laki itu menyebalkan, kaku, dan sangat otoriter, tipikal atasan yang akan menggunakan jabatan untuk mengintimidasi bawahan jika tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, baik urusan pekerjaan maupun urusan personal. Dia memaksa kami, para staf untuk bekerja melebihi batas waktu, pulang nyaris tengah malam hanya untuk menyelesaikan pekerjaan yang bahkan tenggatnya pun masih bisa membuatmu pergi liburan.

Tak lama setelah kehadirannya di divisi analisis, aku banyak berdebat dengannya akan banyak hal. Bahkan, hampir setiap hal, sesepele apa pun, selalu berakhir dengan perdebatan. Adrian tidak pernah membuat semuanya menjadi mudah, jenis atasan yang terlalu banyak berpikir dan sulit membuat keputusan. Aku sempat heran bagaimana orang seperti dia bisa menjabat sebagai supervisi, sedangkan kemampuan memimpinnya hampir sama rata dengan tanah yang kuinjak.

Satu lagi, orang dengan nama Adrian Pramanda ini senang sekali mencari kesalahan karyawan, terlebih jika itu berhubungan denganku. Namun, sayangnya ia tak pernah berhasil menemukannya, karena aku selalu pandai mendebatnya. Semua pekerjaan yang disuruhnya kukerjakan secara asal, tetapi selalu benar. Semua rapat yang ia minta aku urus selalu kulakukan seadanya, tapi apreasiasi tak pernah alpa setelahnya. Terkadang, aku dan Adrian lebih layak disebut rival daripada atasan dan bawahan. Suasana selalu mencekam setiap kali kami berada di satu ruangan, karena entah mengapa, aku kesal setengah mati pada laki-laki tidak tahu diri ini.

Aku tidak pernah membandingkannya dengan Senja, tidak setelah staf lain di divisi ini melakukannya. Bisik-bisik kudengar, membicarakan bagaimana dulu bagian analisis selalu tampak bahagia saat Senja masih ada di antara kami, dan bagaimana rasanya ruangan ini seperti neraka setelah posisinya lengser dan diisi oleh Adrian. Tak sedikit pula yang menyatakan lebih ingin mengundurkan diri, tapi karena tuntutan hidup yang semakin mencekik, mau tak mau niat itu pun harus dipertimbangkan kembali. Memang, hidup tak akan berhenti karena kesialan seorang Adrian, bukan?

Aku tidak pernah berharap Senja akan kembali dan menyingkirkan Adrian, jika perlu mengirimnya kembali ke Tanah Sumatera sana. Aku hanya berharap di mana pun ia berada sekarang, ia selalu baik-baik saja. Tidak perlu untuk orang lain, tetapi untuk dirinya sendiri. Dan untuk kesalahan apa pun yang aku tidak pernah menyadari telah melakukannya, kuharap ia sudah bisa memaafkannya. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 06, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Matahari SenjaWhere stories live. Discover now