Elena: "Kau berharap aku tidak tahu siapa kau?"

303 8 0
                                    

Hari ini aku mengajukan cuti mendadak pada Senja. Semalam, seseorang menghubungiku, entah dari mana dia mendapat nomor teleponku, tapi aku berani bertaruh pasti dari laki-laki itu. Dia mengajakku untuk bertemu empat mata. Pada hari kerja. Aku mendesah keras. Kenapa harus di hari kerja? Tapi aku pada akhirnya menyetujui ajakannya. Aku hanya penasaran apa yang ingin dia sampaikan. Walaupun sesungguhnya, aku tahu.

Mobilku melambat seiring dengan berubahnya warna lampu lalu lintas menjadi merah. Kawasan Karawang menjelang makan siang tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Padat, panas, dan macet. Aku mengecek petunjuk jalan di ponselku. Seharusnya, tidak lama lagi aku akan sampai di tempat yang disebutkannya semalam.

Aku berbelok memasuki pelataran parkir sebuah pusat perbelanjaan. Sepertinya, tempat ini adalah yang terbaik yang dimiliki kawasan industri ini. Aku berjalan mantap setelah bertanya di mana restoran yang dijanjikannya untuk tempat pertemuan kami. Saat aku memasuki restoran tersebut, dia sudah duduk di salah satu meja di ujung, sedikit tertutup dari keramaian dan lalu lalang. Segelas jus jeruk dingin telah terhidang di sampingnya. Restoran tampak ramai, aku tiba bertepatan dengan jam makan siang.

"Maaf aku sedikit terlambat, Karawang jauh sekali dari Jakarta." Ujarku seraya melepas kancing blazerku dan duduk di depannya.

Perempuan itu terkejut, jelas tidak menyadari kehadiranku karena tadi dia sedang asik memandangi lalu lalang orang di luar restoran.

"Kau tahu aku?" Tanyanya, terdengar sangat heran.

"Kau berharap aku tidak tahu siapa kau?" Aku balik bertanya, ketus.

Dia. Ya, dia, Devine Diandra Ayu. Perempuan yang pada saat Asa meninggalkanku melayangkan beragam tuduhan dan makian yang membuatku ingin menamparnya jika saja aku ada di hadapannya. Dari akun sosial medianyalah aku tahu bagaimana rupa dan siapa namanya. Jelas bukan hal yang sulit untuk menemukannya di manapun dia berada jika kau menyimpan luka lama, bukan?

"Tidak perlu berbasa-basi lagi, Ayu. Katakan apa yang ingin kau sampaikan, karena sekali lagi, mengemudi dari Jakarta kemari bukanlah jarak yang dekat."

Pelayan mendatangiku, menanyakan apakah aku ingin memesan sesuatu. Aku mengucapkan vanilla latte panas. Juga meminta asbak. Tak lama, minumanku datang bersama dengan aroma yang sangat familiar. Latte selalu mampu membuatku nyaman. Aku menyulut sebatang rokok, mulai menghisapnya dalam-dalam.

Ayu memainkan sedotan minumannya, kentara sekali dia tidak nyaman berhadapan denganku saat ini. Oh, Ayu sangat cantik jika dibandingkan denganku, seperti namanya. Kulitku yang kecoklatan sangat kontras dengan miliknya yang putih pucat. Gaya berpakaiannya pun terbilang modis, sekali lagi jika dibandingkan denganku yang hanya menggunakan setelan kerjaku hari ini, meskipun aku tidak sedang berada di kantor. Dan, seperti layaknya aku, dia berdandan. Tentu hanya lipstick dan bedak serta sedikit pulasan blush on telah membuatnya mampu membuat semua laki-laki yang ada di pusat perbelanjaan ini menoleh.

Aku mengangkat cangkirku, menyesap sedikit latte yang disajikan di dalamnya. Menunggu perempuan di hadapanku bicara. Seperti katanya pada pesan singkat yang masuk ke dalam ponselku semalam. Dia ingin bicara.

"Aku... aku ingin bicara soal Arva."

Ah, ya, sudah bisa kuduga. Apapun yang akan dikatakannya, hanya soal Asa.

@@@

Aku menguatkan diriku, berusaha tak terlihat gentar di hadapannya. Aku tidak pernah tahu pertemuan ini terasa begitu dingin dan tak bersahabat, walaupun sudah lama berlalu. Aku pun tak ingin berbasa-basi atau berusaha membuat suasana menjadi lebih nyaman. Walaupun kami baru pertama kali bertemu, aku dan Ayu sama-sama tahu, kita tidak pernah bisa menjadi teman.

"Aku merasa, Arva masih terikat padamu." Kudengar Ayu berkata lagi. Aku masih diam, menikmati rokok yang kuhisap berkali-kali, tak berusaha untuk menginterupsi meskipun aku sangat ingin melakukannya. Lalu, dia melanjutkan "hubunganku dan Arva sedang meregang, dan belakangan ini dia bersikap aneh. Aku menemukan beberapa pesan dan panggilan menujumu saat ponselnya dalam keadaan stand by. Seharusnya, hubungan kalian sudah selesai kan?"

"Memang sudah. Lalu, di bagian mana kalimat 'Arva masih terikat padaku' yang kau maksudkan tadi?" aku bertanya.

"Setiap kali aku tanya padanya tentang kau, dia selalu bilang hubungan kalian telah selesai. Tapi kenapa dia masih menghubungimu dan meminta bertemu? Apa yang terjadi?" Tanyanya.

"Tidak ada. Tidak ada yang terjadi, kalau kau takut aku kembali merebut Arva darimu." Aku memberikan penekanan kuat pada kata 'merebut'. Rasanya ingin sekali kutendang perempuan ini dengan stiletto-ku. Atau kusiram dia dengan air kopi di cangkirku yang masih mengeluarkan uap panas.

"Elena, aku merasa kaulah yang masih ingin Arva kembali dan hubungan kalian bisa diperbaiki. Tapi, Arva milikku sekarang, tidakkah kau tahu kalau ─ "

PLAKK!! Aku menamparnya. Tanpa sadar. Seketika ucapannya terhenti. Beberapa orang di sekitar kami menoleh, ingin tahu. Aku memandangnya penuh amarah, nyaris lupa berkedip. Tangan yang kugunakan untuk menamparnya barusan masih terangkat di udara.

Hening sejenak di antara kami. Ayu menyentuh pipinya yang berubah merah, matanya menatapku tak percaya. Aku menemukan emosi dan amarah di dalamnya, tapi itu sama sekali tidak membuatku gentar. Aku masih mengharapkan Asa kembali? Dasar perempuan gila.

"Kau harus tahu," aku mendesis marah, "aku tidak tahu dan tidak mau tahu ada apa dengan hubungan kalian. Atau mengapa Asa bersikap aneh padamu. Atau mengapa dia menghujaniku dengan pesan dan panggilan di ponselku. Tapi kau harus tahu, aku tidak pernah berniat merebut kembali Asa darimu. Jika hubungan kalian merenggang, seharusnya kau tahu bahwa aku memiliki apa yang dibutuhkan Asa dan tidak bisa dia dapatkan darimu. Oh ya, aku memanggilnya Asa, kalau kau penasaran. Itu nama kecilku untuknya."

Aku bangkit sebelum Ayu membalas kata-kataku dan memungut serta tas tangan dan ponselku di atas meja. Kubenamkan puntung rokokku yang masih tersisa seperempat ke dalam asbak.

"Aku tidak bermain dengan cara yang kotor sepertimu, Ayu. Dan satu hal, aku tidak semurah yang kau kira." Kataku sebelum kutinggalkan dia di restoran itu bersama dengan selembar uang lima puluh ribu untuk membayar minumanku.

@@@

Seperti de javu, sekali lagi kuinjak pedal gas sedalam mungkin ketika mobilku memasuki jalan bebas hambatan kembali ke Jakarta. Sama seperti saat itu – saat ketika aku bertemu dengan Asa tanpa sengaja – pertemuan yang kali ini disengaja dengan Ayu juga membuat amarahku memuncak hingga ke ubun-ubun. Mungkin mereka memang ditakdirkan bersama, karena memiliki kesamaan untuk bisa membuat emosiku selalu nyaris tak bisa ditahan.

Akhirnya, aku bisa menuntaskan keinginanku untuk menampar perempuan itu. Apa tadi katanya? Aku yang masih ingin Asa kembali? Tanpa sadar aku mendengus.

Jika saja dia tidak dengan kurang ajar dan seenaknya berkata aku yang masih mengharapkan Asa, mungkin tanganku tidak akan seringan udara untuk kemudian secepat dan sekeras itu membuat pipinya semakin merona merah. Dan tentu saja, membuatnya malu. Bagaimana dia bisa semudah itu mengatakan kalau aku yang ingin Asa kembali?

Aku membelokkan kemudi mobilku menepi di salah satu rest area, hendak membeli kopi, lagi. Rasa kesalku yang memuncak membuat kopi latte yang kubayar mahal tadi belum sempat kuhabiskan. Dan terpaksa aku harus mengeluarkan uang ekstra untuk membeli kopi baru.

Kubuka kaca mobilku selebar mungkin setelah keluar dari rest area dengan segelas kertas kopi latte berukuran sedang. Kuhisap lagi dalam-dalam sebatang rokok. Angin sore hari ini cukup kencang. Dan jalanan mulai padat oleh kendaraan yang hendak kembali ke Jakarta. Tak lama berselang satu batang rokok telah sepenuhnya habis kuhisap. Aku kembali menutup jendela dan menghidupkan AC mobil. Angin sore, sesejuk apapun, tidak pernah menjadi hal yang bagus untuk dinikmati ketika itu didominasi oleh asap kendaraan.***

Matahari SenjaWhere stories live. Discover now