Elena: "Everything about you is always being the hardest part in my life."

250 6 0
                                    

Elena, ijinkan aku bertemu dan bicara denganmu. Begitulah isi pesan singkat yang entah sudah berapa banyak masuk ke ponselku hari ini. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, aku baru saja selesai mengerjakan pekerjaan yang dibebankan Senja padaku karena dia kembali harus dinas keluar. Beberapa hari belakangan ini aku jarang sekali bisa bersama Senja, karena sebagai atasan, Senja memiliki jam terbang yang jauh lebih padat dariku.

Ponselku bergetar di atas tumpukan berkas yang masih berserakan di mejaku. Aku tidak menghiraukannya. Aku tahu pasti itu Asa, karena sejak pagi juga dia sudah berkali-kali mencoba menghubungiku. Kembali, seperti teror. Aku yakin dia hanya ingin memastikan apakah Senja adalah kekasihku, seakan jawaban tegasku waktu itu bohong, atau aku hanya bercanda. Nyatanya, aku sedang – dan sama sekali sudah tidak ingin bercanda dengan laki-laki itu.

Ponselku telah kembali tenang, tapi hanya beberapa detik. Karena kemudian benda selebar enam inci tersebut kembali bergetar dan menyala terang. Kembali menampilkan nama Asa di tengah. Aku menyingkirkannya untuk bisa membereskan tumpukan berkas dan merapikan mejaku sebelum aku pulang.

Tapi, sebagian dari hatiku masih enggan untuk benar-benar tidak peduli padanya. Dan pada panggilannya yang kesekian, aku akhirnya menjawabnya. Seperti yang pernah kubilang padanya, semua tentangnya selalu menjadi hal yang paling sulit dalam hidupku.

"Kenapa?" Aku langsung bertanya tanpa mengucap sapa.

"Khey," suara Asa terdengar pelan di antara deru suara klakson dan mesin kendaraan.

"Ada apa, Asa? Jangan membuat aku bicara berkali-kali." Aku mengulang.

"Bisakah aku bertemu denganmu sekarang, Khey?" Asa bertanya.

"Tidak. Aku sedang sibuk sekarang." Jawabku tegas.

"Aku mohon, Khey. Aku tidak bisa menunggu lama." Suaranya merendah, nyaris ditelan deru angin yang bercampur dengan suara klakson dan mesin kendaraan.

"Kalau begitu jangan menunggu." Aku menyahut ketus.

Asa terdiam. Apakah kalimatku barusan menyakitinya? Ah lalu apa peduliku. Suara-suara berkecamuk dalam pikiranku, berdebat. Selama beberapa saat, aku hanya mendengar background suara-suara bising itu. Sesaat terpikir untuk memutuskan sambungan, tapi tepat ketika aku akan melakukannya, kudengar Asa kembali bersuara.

"Aku... sudah ada di depan gedung kantormu, Khey." Ujarnya.

Aku tersentak. Apa maksudnya dengan dia sudah berada di depan gedung kantor? Aku tidak pernah memberitahunya tempat ini.

"Apa maksudmu?" Aku bertanya, memastikan.

"Gedung biru ini. Gedung biru favoritmu. Aku sedang berdiri di hadapannya." Katanya.

Rasanya, jantungku pergi meninggalkan rumahnya. Detaknya tak lagi kurasa ketika kudengar jawaban Asa. Langkahku bergetar, aku mendekat ke jendela yang menghubungkan kantor dengan pemandangan jalanan di bawah. Memang mustahil untuk bisa melihat ke bawah dari lantai divisiku, tapi aku tetap mencobanya. Mencoba menemukan Asa, atau apa saja yang bisa membuatku percaya jika laki-laki itu memang benar sedang ada di sana.

"Turunlah, Khey." Sayup-sayup kudengar suaranya dari ponselku yang tak lagi menempel di telinga.***


Matahari SenjaWhere stories live. Discover now