Elena: "Seharusnya, aku tak lagi mencari. Seharusnya, aku tak lagi kembali."

370 9 0
                                    

Ponselku terus menerus bergetar keesokan harinya, dan keesokan harinya. Begitu terus selama tiga hari berturut-turut. Setelah pertemuan itu, aku menghindari Asa. Menghindar dari segala bentuk komunikasi yang bisa membuka jalan harapan untuk hatiku kembali padanya. Kalau bukan ponsel satu-satunya, aku pasti telah lama menonaktifkan benda itu untuk membuat Asa menyerah dan berhenti.

Hubunganku dengannya tak pernah berakhir baik-baik saja. Bagiku, masih ada banyak hal yang mengganjal, yang aku tahu jawabannya hanya ada padanya. Tapi aku tak pernah mendapat kesempatan untuk kembali bisa bertemu dengannya, dan pertanyaan itu tetap tak terjawab. Ketika pada akhirnya aku bisa bertatap muka, semua seperti sudah terlambat.

Aku sudah bersama Senja, seharusnya itu sudah lebih dari cukup. Satu tahun Senja berusaha merekatkan kembali pecahan-pecahan hatiku yang hanya kubalut seadanya. Satu tahun Senja berusaha keras membuatku kembali percaya pada laki-laki. Satu tahun Senja berusaha membuatku kembali merasakan bagaimana dicintai. Dan satu tahun Senja berusaha melengkapiku dan membuat hidupku perlahan kembali baik-baik saja.

Seharusnya, Senja sudah lebih dari cukup. Seharusnya aku tak lagi mencari. Seharusnya, aku tak lagi kembali.

"Sudah siap?" Senja datang menghampiriku yang sedang terpaku pada layar laptop. Aku mengangkat pandanganku dari sekian ratus data pada layar menujunya. Ya, seharusnya Senja sudah lebih dari cukup. Aku mengulang dalam hati.

Aku melengkungkan senyum. "Sebentar lagi." Ujarku. Sudah tiga bulan berlalu, dan selama itu pula aku terus memikirkan pertemuanku dengan Asa. Pertemuan – yang sekali lagi – tidak berjalan baik. Melihat Senja berdiri di sampingku saat ini, sungguh membuatku nyaman.

Senja mengenakan setelan batik berwarna cokelat tua, sedikit kontras dengan milikku yang berwarna hijau palem. Hari ini, aku dan Senja ditugaskan untuk menjadi wakil dari divisi analisis untuk ikut dalam proses rekrutmen inti calon pegawai baru yang diadakan di salah satu hotel di wilayah Bogor. Dengan biaya perusahaan, kami mendapatkan dua kamar utama untuk menginap, karena proses rekrutmen akan dimulai pagi hari. Tapi karena statusku dan Senja yang lebih dari sekedar rekan kerja, pastilah hanya satu kamar yang kami gunakan.

Selepas sarapan, aku dan Senja menuju ruang pertemuan yang digunakan untuk proses rekrutmen. Dua orang dari divisi penjualan dan rekrutmen telah hadir di ruangan. Dan tepat pukul delapan, proses dimulai.

Tepat pukul dua belas siang, aku dan Senja keluar ruangan menuju restoran. Proses ditunda selama satu jam untuk beristirahat. Aku meregangkan tubuhku.

"Hanya bertanya, tapi kenapa rasanya aku lelah sekali." Ujarku.

"Kau masih harus bertahan beberapa jam lagi." Senja membalas.

"Ya, ya. Aku tahu." Kataku.

"Elena?" sebuah suara memanggilku, membuatku dan Senja menoleh berbarengan. Suara yang sangat familiar di telingaku, selain suara Senja. Tubuhku menegang. Peganganku pada kemasan gelas air mineral di tanganku mengeras, airnya yang muncrat tumpah dari sedotan kecil yang tertusuk di atasnya menyadarkanku. Lain halnya Senja, yang hanya menatap wajahnya dengan ekspresi yang – selalu – biasa saja.

"Elena." Selalu memanggil lebih dari sekali. Asa. Laki-laki itu menghampiriku. Entah kenapa, setiap ada kegiatan kantor, aku harus selalu bertemu dengan orang ini. Orang yang selama tiga bulan ini kuhindari, sekarang malah dengan ajaib muncul di hadapanku. Dan Senja. Tuhan sepertinya sedang senang bercanda.

"Temanmu?" Senja memecah keheningan. Segera aku mengangguk.

"Ah, Arva. Kenalkan, ini Senja, atasanku. Senja, ini Arva, temanku." Ujarku.

Senja dan Asa berjabat tangan. Entah bagaimana Asa tidak memanggilku Khey, tapi aku rasa, kehadiran Senja membuatnya spontan melakukannya.

"Elena, kembali ke ruangan pukul satu. Jangan terlambat. Aku mau makan dulu." Senja berujar, kembali mencairkan suasana. Segera dia berpamitan pada Asa dan berlalu. Tinggallah, aku kembali bersamanya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Asa bertanya.

"Bekerja. Menurutmu apa?" Aku balas bertanya ketus, malas melemparkan pertanyaan yang sama.

"Kau menghindariku." Katanya kemudian.

"Dan aku pun tak punya alasan kuat untuk tidak melakukannya. Asa, kau dan aku sudah selesai. Untuk apa lagi kau terus mencariku?" Tanyaku.

"Aku ingin menyelesaikan masalah kita baik-baik, Khey." Jawabnya, kembali pada panggilan khususnya untukku.

"Ah, tidak. Tidak perlu repot-repot. Masalah kita kuanggap sudah selesai, Asa. Jadi, jangan pernah cari-cari alasan untuk kau bisa menemuiku lagi." Aku menukas.

"Dia pacarmu?" Asa mengalihkan pandangannya pada Senja yang sedang asik menyantap makan siang sambil mengobrol dengan staff penjualan.

Aku mendesah. "Ya." Kataku.

Asa tersenyum datar. "Ah, ya, aku tahu sekarang mengapa kau selalu menghindar dan sulit sekali ditemui. Kau sudah punya dia." Katanya.

"Senja tidak pernah ada hubungannya dengan ini, Asa. Aku memang tidak mau bertemu lagi denganmu. Kau hanya mengingatkanku akan sakit hatiku." Aku menutup pembicaraan. Tanpa menunggu jawabannya, aku berbalik dan pergi meninggalkannya.***

Matahari SenjaWhere stories live. Discover now