Elena: "Dia selalu membuatku merasa seakan semuanya baik-baik saja."

2K 36 4
                                    

"Kopi?" Sapaan selamat pagi yang sudah sangat familiar di telingaku satu tahun ini. Ketika hampir semua orang mengucap selamat pagi mereka dengan sepatah dua kata bernada semangat, laki-laki berpostur jangkung dengan mata sayu dan rambut yang nyaris tak pernah bisa tertata rapi ini selalu mengganti sapaan 'selamat pagi' dengan 'kopi'. Bukannya unik, malah terdengar sangat aneh menurutku. Tapi nyatanya, setahun bersamanya tak pernah membuatku memprotes ucapan selamat paginya itu.

"Pagi." Balasku seraya menerima gelas stereofoam berukuran sedang setelah meletakkan semua barangku asal di meja kerjaku. Aroma kuat latte yang sedikit terlalu manis menyapa penciumanku, membuatku sejenak tersenyum. Satu hal yang membuatku selalu jatuh cinta pada laki-laki ini, dia tidak pernah lupa pada apapun yang kusuka dan tidak. Termasuk seberapa manis kopi latte yang menjadi minuman rutinku setiap paginya.

"Selalu tepat menakar gula. Terima kasih." Ucapku setelah sedikit menyesap latte tadi.

"Sampaikan pada barista yang membuatnya." Ujarnya sambil menggeser semua barang-barangku yang belum sempat kutata, dan menempatkan mejaku sebagai kursi dengan duduk di atasnya. Aku mendesah. Mungkin begitulah gaya atasan masa kini.

"Iya, aku tahu kau tidak mungkin membuat kopi latte ini bisa sangat enak. Tapi pasti tidak akan begini rasanya kalau bukan kau yang minta," aku membalas, "dan omong-omong, Senja, masih ada banyak kursi untukmu duduk, jadi menyingkir dari mejaku." Lanjutku galak.

Senja tertawa, menimbulkan efek mata segaris yang selalu menjadi bahan ejekanku setiap aku kesal padanya, namun malah menjadi satu bahan yang semakin membuatnya terbahak-bahak dan membuatku semakin jengkel. 

"Kau sedang tidak ada kerjaan? Sepertinya kau bahagia sekali hari ini." Ujarku bersungut-sungut, mengingat pekerjaanku yang menggunung menunggu untuk diselesaikan.

"Siapa bilang?" Justru hari ini aku sedang sangat padat. Hari ini aku ada dua rapat dengan kantor wilayah," Senja melirik jam tangannya, "dan aku punya satu pekerjaan untukmu. Sebentar aku kirimkan datanya." Sahutnya.

"Berikan ke orang lain." Kataku segera. Kembali, tawa semi bass Senja memenuhi gendang telingaku.

"Tidak bisa. Hanya kau yang bisa mengerjakan pekerjaan ini." Senja membantah.

"Apa hanya aku orang analisis di kantor sebesar ini, atau memang kau sengaja memberikanku pekerjaan ekstra supaya aku bisa tinggal lebih lama di kantor?" Aku memprotes.

"Memang bukan hanya kau orang di divisi analisis, tapi karena kau bawahanku langsung di divisi ini, jadi aku mempercayakan tugas ini kepadamu. Lagipula, apakah kau tahu bahwa menolak pekerjaan dari atasan adalah suatu kesalahan, Elena?" Senja berkata sembari beranjak, merapikan letak dasinya.

"Iya, tapi kalau atasannya itu kau, aku bisa terus membantah." Aku masih terus mendebat.

"Tidak ada perbedaan, meskipun kau ini adalah orang yang paling ingin aku nikahi." Katanya membuat jantungku serasa lepas dari tempatnya.

"Senjaaaaaa..." suaraku yang diikuti tawanya mengiringi kepergian laki-laki itu dari meja kerjaku.

@@@

Entah apa yang telah membuatku sedemikian nekad untuk menerima ungkapan cintanya satu tahun yang lalu. Aku masih ingat dengan sangat jelas kalimat pernyataan bahwa tidak boleh menjalin hubungan antar sesama karyawan di perusahaan ketika aku menanda tangani kontrak kerjaku di waktu yang nyaris bersamaan. Dan masih saja aku mengingkarinya. Masih saja aku berani menerima pernyataan cintanya. Masih saja aku berani membina hubungan yang lebih dari sekedar rekan kerja dengan laki-laki itu.

Senja Ariadinata. Seperti yang telah kuceritakan di atas, dia atasanku di perusahaan tempatku bekerja sekarang. Entah bagaimana awalnya, yang sangat kuingat adalah aku ditempatkan satu divisi dengannya dan beberapa bulan setelahnya aku menerima pernyataan cintanya. Aku tidak ingat saat itu dilarang keras untuk menjalin hubungan dengan rekan kerjamu. Senja atasanku, dan aku dengan sangat tidak tahu diri berani menerimanya sebagai kekasihku. 

Senja - seperti yang juga telah kuceritakan di atas - berpostur jangkung dengan rambut yang nyaris tidak pernah tertata rapi, sekeras apapun dia mencobanya. Matanya sayu namun tegas, sekilas dia terlihat seperti orang yang sakau dan kurang tidur. Kelewat jenius untuk laki-laki seusianya - 27 tahun - dengan menjabat sebagai pimpinan divisi analisis, divisiku. Bagiku, Senja lebih seperti matahari yang terbit di saat langit mulai temaram menuju malam.

Hubungan kami - aku dan Senja - tidak bisa dibilang backstreet, karena laki-laki itu dengan jelas memperlihatkan kedekatannya denganku bahkan ketika jam kantor belum sepenuhnya berakhir. Aku yakin pasti adanya hubungan yang lebih dari sekedar rekan kerja antara aku dan Senja sudah terdengar hingga ke telinga direktur. Tapi baik aku maupun Senja belum ada yang dipanggil olehnya untuk memberikan klarifikasi.

Satu tahun tentu bukan menjadi waktu yang sebentar untukku menjalani hubungan khusus dengan Senja. Dia mencintaiku, memperlakukanku selayaknya sesuatu miliknya yang jika tergores sedikit saja, akan membuat sebagian dirinya turut retak. Tapi, entah apakah aku bisa disebut mencintainya seperti dia mencintaiku, karena bersamanya, aku hanya merasa semuanya akan baik-baik saja. Tidak lebih. Mungkin belum. Karena sebagian diriku masih terbawa pada satu masa dimana aku terjatuh dan hatiku terluka sangat parah, saat dimana aku merasa hidupku tidak pernah menjadi baik-baik saja.***



Matahari SenjaWhere stories live. Discover now