EPISODE 01

3.3K 307 15
                                    

Bau khas obat-obatan membuat kepalanya semakin berdenyut. Perlahan ia membuka mata, menyesuaikan diri dengan lampu yang begitu terang diatasnya. Bau obat-obatan makin menusuk penciumannya, Julli memposisikan dirinya duduk. Matanya memperhatikan setiap sudut tenda besar yang hanya diisi tiga brankar dan beberapa peralatan kesehatan itu. Dua buah selang infus masih terpasang di tangan dan lehernya, membuat Julli mengurungkan niat untuk beranjak keluar dari tenda.

"Kalian bisa kembali ke barak nomor tiga. Aku menyusul." Suara wanita terdengar diluar, derap langkahnya semakin dekat dan perlahan tirai plastik yang menutup pintu tenda pun disibak. Wanita dengan celana doreng dan kaus cokelat itu tersenyum sembari mendekat. Ia melihat kantung cairan berwarna biru sudah kosong, selang infus dari kantung cairan itu tersambung ke leher Julli.

"Biar kubantu melepaskannya." Wanita itu perlahan melepaskan selang infus yang ada dileher Julli baru kemudian yang ada dilengan. Julli masih diam dan memperhatikan sampai wanita itu menyodorkan jaket serta sepatu boots milik Julli.

"Kau bisa mencari temanmu di barak pengungsian nomor delapan." Wanita itu tersenyum kemudian membereskan mejanya lalu keluar dengan kotak P3K yang lengkap.

Julli memakai jaketnya, merogoh seluruh saku jaket untuk memastikan kalau pisau lipat dan smartphone jadul itu masih ada. Setelah memakai sepatunya, Julli beranjak keluar dari tenda itu. Ia berdiri mematung, mendengar teriakan orang disana-sini, lalu lalang para tentara dan orang-orang berbaju hazmat orange yang menyeret pengungsi dengan wajah ditutup kain hitam. Julli tidak mengenal siapapun, ia sendirian, berjalan melewati barak-barak perawatan yang penuh. Ia tidak melihat Ares dimanapun, bahkan Randi juga tidak terlihat.

"Julliana?" Suara serak perempuan menghentikan langkah Julli. Ia berbalik, mendapati seorang perempuan dengan rambut panjang dan pakaian lusuh menghampirinya. Julli mengenal perempuan itu, teman kuliahnya yang paling sering berdebat saat dikelas dulu.

Perempuan itu tertawa tiba-tiba, menyentuh rambut sebahu milik Julli yang tidak diikat. Ia memperhatikan Julli dari ujung kaki sampai ujung kepala kemudian tertawa lagi.

"Kamu... sehat sekali." Suara serak teman lamanya itu membuat Julli melangkah mundur. Ada yang tidak beres.

"Kukumu cantik." Perempuan itu mengangkat kedua tangannya. Kuku-kukunya tajam dan jari tangannya itu terlihat lebih panjang dari ukuran jari tangan orang normal.

Julli mundur satu langkah namun sialnya tangan perempuan itu mencengkram lengannya erat. Julli meringis, merasakan kuku-kuku tajam menusuk jaketnya dan menyentuh kulit lengan.

"Kenapa kamu sehat banget? Kenapa!" Perempuan itu berteriak bersamaan dengan kukunya yang menusuk kulit Julli.

Julli memejamkan mata saat tubuhnya didorong hingga jatuh menghantam tanah. Yang terdengar selanjutnya adalah debam keras dan erangan kesakitan dari teman lamanya itu. Julli memberanikan diri membuka mata. Dua orang berbaju hazmat orange menyeret perempuan itu sementara Julli terdiam menatap Ares yang terlihat menahan emosinya.

"Kau harus berhati-hati mulai sekarang, J." Ares tidak lagi berbahasa indonesia. Julli kemudian bangkit, ia tidak lagi melihat sosok tengil menyebalkan didiri Ares.

"Aku kira mereka udah misahin orang-orang yang kebal dan tidak." Julli menutup luka dilengannya dengan sapu tangan yang untungnya selalu ada disaku celana. Ia mengikuti Ares yang berjalan di depan.

Hampir saja Julli terjungkal karena Ares yang berhenti tiba-tiba lalu berbalik. "Gunakan bahasa inggris mulai sekarang, kumohon." Ujar Ares serius.

Julli mengangguk. "Kau kemana saja?" Ia memberanikan diri bertanya. Antares Sebastian sialan ini sekarang jadi sangat serius.

"Berkeliling dan mengobrol sebentar dengan beberapa Tentara. Kau satu barak denganku, jangan protes." Ares menyibak tirai salah satu tenda.

THE WORLD [BOOK 3 OF 211 SERIES]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang