Yoga POV
Hari demi hari dilewati gue, Gatra, dan Amir seperti biasa. Kini Amir sudah sangat tampan, bahkan dia telah menjadi runner up dari sebuah kompetisi pencarian model di kotanya.
Namun, sejak itu Amir jadi sibuk sendiri. Dia seperti kacang lupa pada kulitnya. Gue dan Gatra sering ditinggal Amir demi bersenang-senang.
Suatu hari di siang yang amat panas. Gue, Amir, dan Gatra sedang berkumpul di ruang tengah. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Gue akhirnya membukakan karena para pembantu Amir sedang pulang kampung.
Ternyata ada seorang wanita yang amat cantik, tinggi, putih, dengan tubuh yang sangat menarik. Dia sedang menangis sambil berusaha untuk menyampaikan sesuatu.
"A.. Amir ada?" kata wanita tersebut.
"Ada, silakan masuk. Tapi anda siapa dan kenapa anda menangis?" jawab gue.
Wanita itu tidak mau menjawab dan langsung masuk dan gue ajak dia ke ruang tengah.
"Cindy?!" kata Amir kaget melihat wanita tersebut.
"Dia siapa, Mir?" tanya Gatra yang mulai bingung karena tingkah aneh dari Amir dan wanita tersebut.
"Dia ... dia ..." Amir tidak bisa menjawab
"Aku pacarnya Amir," jawab wanita tersebut sambil menangis.
"Loh, lo udah punya pacar, Mir? Kok gak bilang-bilang ke kita?" tanya gue.
Amir hanya terdiam. Suasana seketika hening. Hanya terdengar suara isak tangis wanita tersebut. Sampai detik itu gue dan Gatra masih gak sadar apa yang membuat wanita itu menangis. Sampai pada akhirnya Bang Gatra berani bertanya.
"Adek, kamu kenapa nangis?" tanya Bang Gatra sangat sopan.
"Aku ... hiks ... aku ... hiks ... ha ... hamil, Bang. A ... hiks ... Amir yang menghamili aku, Bang," jawab wanita itu yang membuat gue dan Gatra Kaget seketika.
"Apa? Lo hamil, Cin? Gak. Gak mungkin. Itu pasti bukan anak gue. Gue cuma ngelakuin itu sama lo cuma sekali. Lo tuh pasti udah ngelakuin sama banyak orang kan? Tapi karena gue kaya, jadi lo ngakunya gue yang hamilin lo kan? Iya kan, Cin?" jawab Amir sambil berdiri menghadap wanita itu yang tidak kalah membuat Gue kaget.
Tiba-tiba Bang Gatra langsung berdiri. Dengan sangat cepat gue gak bisa melihat bahwa sebuah pukulan telah berhasil mendarat di pelipis Amir dan berhasil membuat Amir Rubuh seketika.
"Lo udah hamilin anak orang masih gak mau ngaku. Itu biar baru sekali tetep aja bisa lo yang jadi bapaknya. Sekarang ngaku ke gue dan Yoga, udah berapa banyak cewe yang lo tidurin?" kata Gatra sambil berjalan ke sebuah lemari pajangan.
Di dalam lemari itu terdapat sebuah benda yang ditutupi kain berwarna abu-abu. Lalu, Gatra mengangkat benda tersebut yang masih ditutupi oleh kain. Tak lama kemudian kain abu-abu itu pun terjatuh. What? Pedang. Gatra ngambil pedang. Gila, ini gila.
Gue pun langsung lari ke kamar dan mengambil Bokken (pedang kayu) yang biasa gue pakai untuk latihan. Gue gak mau ada pertumpahan darah. Gue harus mencegahnya.
Walaupun mungkin Bokken akan kalah dengan pedang itu kalo si Bang Gatra emang mahir bermain pedang. Tapi seenggaknya, gue harus bisa mencegahnya.
Gue langsung balik ke ruang tengah. Gue liat Bang Gatra masih mukul si Amir yang gak mau ngaku pake tangan kosong. Sedangkan pedangnya di genggam di tangan kiri. Di sisi lain si wanita masih berteriak-teriak karena ketakutan.
Karena Amir tidak juga mengaku, Bang Gatra langsung mengeluarkan pedang dari sarungnya dan menghunuskan ke arah Amir. Gue pun langsung sigap menghadang hunusan pedang itu dengan bokken gue yang seadanya agar tidak kelewatan dan melukai Amir.
"Stop Bang! Lo jangan gila!" kata gue sambil tetap menahan pedang asli dengan bokken.
"Minggirin bokken kamu, atau aku bakal nyerang kamu juga!" kata Bang Gatra yang membuat situasi semakin tegang.
"Gak akan. Gue gak mau ada pertumpahan darah cuma karena hal sepele!" jawab gue.
Tapi Bang Gatra tidak menggubris kata-kata gue. Dia langsung mengangkat pedangnya dan ingin mengarahkannya kepada Amir. Dari gayanya memegang pedang dan melakukan kuda-kuda gue tau dia dari beladiri yang mengandalkan kekuatan menyerang. Bahkan dia lupa untuk melakukan pertahanan.
Gue yang sudah terlanjur memegang bokken akhirnya langsung maju sambil mengambil sudut 45 derajat dengan kaki kanan gue dan langsung memukul perut Bang Gatra dengan kekuatan sedang.
Lalu gue langsung berputar dan memukul lengannya dan berhasil membuat pedang itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai. Lalu gue pukul lutut Bang Gatra dengan kekuatan kecil dengan bokken yang berhasil membuat kuda-kudanya ambruk.
Setelah dia ambruk, gue ambil pedang itu dan memasukkannya kembali ke dalam sarung. pedang ini akan gue pegang terus sampai situasi aman.
"Maaf Bang, gue harus bertindak," kata gue ke Bang Gatra.
"Iya Ga, aku ngerti. Maaf aku lost control," jawab dia sambil duduk masih menahan sakit akibat serangan gue.
Setelah suasana tenang gue langsung menjadi mediator permasalahan ini. Amir juga sudah menjelaskan dan mengakui bahwa dia yang menghamili Cindy.
Cindy adalah pelayan baru sebuah club malam yang biasa didatangi Amir dan kawan-kawan gaulnya. Singkat cerita, Amir bertaruh dengan kawan-kawannya mendapatkan Cindy.
Namun, Amir yang menang.Pada saat mabuk Amir tidur di hotel dan mengajak Cindy. Saat itu dia tidak sadar melakukan hal tersebut dengan Cindy.
"Oke, gini. Cindy, kamu pulang kampung dulu. Jangan aborsi. Setelah kamu melahirkan, Amir akan menikahi kamu. Saya dan Gatra yang jadi jaminan. Kalau Amir tidak menikahi kamu, silakan pilih saya atau Gatra yang menjadi Ayah untuk anak kamu. Dan Amir, semua akan gue bilang ke bokap lo. Gue persuasi biar dia gak marah ke lo dan mau menerima Cindy dan anak lo," jawab gue memberikan solusi.
"Tapi, gimana bisa. Perut aku semakin membesar. Aku malu jika belom dinikahi," jawab Cindy.
"Cin, salah kamu sendiri mau diajak ke hotel sama Amir, jadi kamu tanggunglah malu itu. Kenapa saya melarang kalian nikah sekarang, bukan karena saya ingin Amir bisa bebas. Tapi agama Amir melarang perempuan yang sedang hamil untuk dinikahi. Kalo tetep dinikahi, seumur hidup kalian status bukan suami istri, tapi berzina. Justru ini jalan yang terbaik yang bisa saya kasih. Untuk biaya, nanti Amir akan memberikan uang yang dipotong dari jatah bulanan Amir sebesar tiga juta rupiah tiap bulan ke kamu dan biaya persalinan akan ditanggung oleh dokter Gatra," jelas gue.
Gue menyebut tiga juta karena gue tau uang jajan Amir sekitar enam juta sebulan dari Ayahnya.
Akhir cerita, Cindy, Amir, dan Gatra setuju dengan tawaran gue.Akhirnya gue mengembalikan pedang itu pada tempatnya setelah Cindy pulang.
Gatra sendiri masih bingung kenapa gue bisa merobohkan dia. Mungkin Gatra belom tau kalau gue juga seorang yang menekuni beladiri.
Akhirnya, gue dan Gatra ngobrol sampe malam tentang beladiri dan berjanji akan latihan bersama setiap akhir pekan.
Sebelum tidur, gue kembali melihat pedang tersebut. Entah di mana gue merasa sangat mengenal pedang tersebut.
✴✴✴
KAMU SEDANG MEMBACA
Professor Cinta
General FictionIni adalah kisah Yoga sang professor cinta, dalam menemukan strong bond of love (cinta sejati). Seperti yang dikatakan Francesco Alberoni bahwa, "the only force that is capable establishing a strong bond outside family ties is 'falling in love'. Th...