Airin

22 3 3
                                    

Aku menangkap sinar matanya diantara remang-remang lampion imlek. Sosok lelaki dengan rambut sebahu yang diikat rapi dan lintang bibirnya yang seperti bulan sabit itu melumpuhkan syaraf di lidahku saat ia memintaku untuk mencatat pesanannya,

"Teh tarik tiga, kwetiau rebus 2, sama mi goreng 1 ya, Mbak. Nggak pedes ya, mi gorengnya."

"Atas nama siapa?"

"Ilyas. Meja nomor 7"

Sekarang aku tahu namanya, dia adalah Ilyas. Aktivis angkatan dari kelas sebelah. Di kampus namanya bukanlah Ilyas, tapi sering dipanggil dengan sebutan Mega, dari kata Megaptera karena nyalinya yang besar. Rambutnya selalu tertata rapi biarpun panjangnya sebahu, aku tahu betul, Ilyas tidak pernah memakai sepatu pantofel atau sepatu olahraga saat ke kampus. Dia lebih suka menggunakan sepatu casual dengan arloji yang melingkar di tangan kanannya. Alisnya tebal dan hidungnya mancung, serta kulitnya berwarna sawo matang. Benar-benar seorang lelaki keturunan pribumi. Satu hal lagi yang kutahu dari Ilyas, warna matanya coklat. Tapi kalau terkena cahaya, maka berubah menjadi coklat muda dengan semburat hitam di sekelilingnya.

Kegiatannya sebagai aktivis angkatan mungkin membuat Ilyas tidak mengenaliku. Padahal jarak antara kelas kami hanyalah sebuah tembok dari triplek tebal. Tapi aku yakin, suatu saat Ilyas akan mengenaliku.

Berbeda dengan Ilyas, aku adalah kaum minoritas di negara ini. Aku adalah gadis keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah pecinan. Aku tidak sempat memikirkan angkatan, menjadi seorang aktivis, maupun organisatoris. Yang ada di pikiranku hanyalah kuliah, tugas, dan bekerja. Ibuku memiliki usaha toko roti di pagi hari, dan ayahku melanjutkannya di malam hari dengan berjualan Chinesse food di depan rumah. Mendekati imlek seperti ini, gang pecinan akan ramai setiap hari. Beruntungnya aku, imlek tahun ini aku bertemu dengan Ilyas. Memesan makanan di kedai milik ayahku.

Entah apa yang membuatku menggilai Ilyas, mungkin dari tutur katanya yang sangat lembut, atau mungkin dari image nya yang selalu baik di kampus dan menjadi sorotan para dosen karena prestasinya. Tapi di luar semua itu, senyumnya lah hal yang paling kusuka. Ilyas hampir atau tidak pernah tertawa di depan publik. Raut wajahnya selalu serius hingga aku bisa melihat alis matanya menyatu. Jadi melihatnya tersenyum, itu adalah hal yang langka yang tidak boleh ku sia-siakan.

"Mei, gege nggak suka kamu ngelamun kalau warung lagi ramai. Ini, bawa ke meja nomor 7 keburu dingin."

*Meimei : panggilan adik perempuan
*Gege : panggilan kakak laki-laki

"Iya, Ge.. Iya.. Eh Gege! Ini nasi gorengnya kan nggak pedes kenapa ada cabenya sih?"

"Coba gege cek.. eh iya bener juga kamu. Yaudah bentar, gege ganti pake yang baru. Tumben kamu hafal sama pesenan orang."

Tak lama kemudian, gege datang membawa sepiring nasi goreng yang sudah direvisi. Gege adalah satu-satunya kakakku. Sesama aktivis angkatan seperti Ilyas. Hanya saja gege kuliah di jurusan yang berbeda denganku.

Aku merapikan pakaianku, rambutku, bahkan celemek bekerjaku. Kusemprotkan sedikit parfum untuk menyamarkan bau makanan di tubuhku. Langkahku sedikit grogi sewaktu mendekati meja Ilyas. Di situ Ilyas sedang tertawa dengan kedua temannya, momen langka bagiku, aku melihat senyumnya. Ingin rasanya aku cepat-cepat mengambil handphone ku dan mengabadikan senyumnya itu, tapi itu tindakan idiot! Dasar kau Airin, perempuan idiot!

"Nasi goreng tidak pedas satu, dan kwetiau rebus dua? Atas nama Ilyas?"
Tanyaku bodoh. Sebenarnya aku tidak pernah menanyakan pada pelanggan nama mereka. Ini hanya akal akalanku saja untuk mengenalinya.

"Ya, makasih Mbak.. teh tariknya nambah satu ya, tapi yang anget."
Jawab teman Ilyas.

Aku mengangguk, lalu membalikan badan. Kemudian aku mendengar Ilyas memanggilku.

"Mbak? Mbak yang bau permen karet pisang?"

Sial! Analisisnya tepat sekali! Ilyas bahkan mengenali bau parfumku ini. Aku cepat cepat berbalik dan menghampiri mejanya lagi.

"Iya, Mas?"

"Teh tariknya dua lagi deh hehe, maaf ya Mbak. Barusan abis nih."

Satu lagi yang kumasukan ke dalam buku diariku hari ini, Ilyas telah mengidentifikasiku sebagai wanita berbau permen karet rasa pisang. Terima kasih Tuhan, imlek tahun ini benar-benar berkah bagiku. Sebenarnya, aku kasihan pada diriku sendiri. Ilyas adalah seorang aktivis angkatan dan juga anggota rohani islam di kampus. Jika orangtuaku tahu bahwa aku telah jatuh cinta pada sosok pemuda yang berbeda keyakinan, habislah diriku. Seperti pungguk merindukan bulan. Malam itu kuhabiskan dengan mengamati senyum Ilyas dari kejauhan. Senyum yang kuharap bisa menjadi hanya milikku untuk selamanya.

"Mei, warungnya mau tutup. Sana diberesin meja kursinya. Angkatin, bawa masuk ke dalem ntar gege yang ngepel."

"Laah.. kok gege yang ngepel sih? Airin aja yang ngepel, gege yang angkutin barang."

"Iya-iya, kita yang ngangkatin sama ngepel bareng deh."

Sambil membalikan kursi, samar-samar aku melihat seperti potongan kartu terjatuh di dekat kaki gege. Awalnya aku tidak mempedulikannya, sampai aku tersadar bahwa gege membersihkan meja nomor 7 ! Lalu aku berlari dan segera mengambil potongan kartu tadi sebelum terinjak oleh gege.

"Aaaaaaaaaaakkkkkkk!!!!"
Teriakku histeris saat aku melihat bahwa potongan kertas itu adalah pasfoto ukuran 4x6 milik Ilyas yang terjatuh. Gege terkejut melihat tingkahku, lalu memegang dahiku.

"Lu kenapa, Mei? Ha? Bikin orang jantungan juga."

"Ada.. ada.. kecoa tadi nempel di kakiku, Ge.. hehehe"
Jawabku sambil cepat-cepat memasukkan foto Ilyas ke dalam saku celana.

"Kamu aneh banget sumpah hari ini, Mei. Kamu tidur aja sana, besok kan ada kuliah. Biar gege aja yang beresin meja."

"Makasih gegeeee besok aku traktir tiramisu deh.."
Kataku sambil berlari menuju kamar.




Bersambung....

Across The UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang