Chapter 3. paling ujung

6.3K 562 98
                                    

Seorang guru berusia sekitar dari tiga puluh tahun berjalan bersama seorang siswa menuju kelas IPA. Guru itu awalnya berniat berbincang ringan dengannya tetapi tidak jadi karena melihat ekspresi datar di wajahnya. Mata siswa itu terus saja menatap tajam jalan koridor yang sekarang ini ia lewati.

"Nah, ini kelasnya," ucap Bu Ima ketika mereka berhenti di depan pintu kelas yang mana ada tulisan 'XII IPA 1' di atas pintunya.

Gue udah tau.

Setibanya mereka di hadapan seluruh penghuni kelas. Suasana kelas yang tadinya berisik seketika menjadi hening karena orang baru itu muncul di hadapan mereka. Iya baru. Baru kali ini siswa itu datang ke kelas mereka. Jangankan ke kelas mereka, menginjakkan koridor yang menuju kelas mereka saja pun tidak pernah.

"Perkenalkan diri kamu," suruh Bu Ima selaku wali kelas 12 IPA 1.

Siswa itu mendecak. "Nuel."

Bu Ima menolehkan kepala ke samping tempat Nuel berdiri. "Udah? Cuma itu?" Nuel mengangkat kedua bahu, entah menjawab apa.

Bu Ima memijat pelipisnya. Ia tahu dengan siapa kini ia berhadapan. Nuel Tilaar Dirganta. Siswa dengan peredikat pertama di buku kasus BK. Dia memang belum pernah mengajar di kelas Nuel dulu. Ia hanya mendengar dari keluhan para guru di ruangan. Dan mungkin kelak dirinyalah yang akan menjadi the next.

"Wi, Wi, Wi, tepok gue! Cepet tepok gue! Awwh..." cerocos Tessa yang baru saja ditepok Tiwi, teman sebangkunya.

"Itu Nuel kan, Wi? Serius itu Nuel, Wi? Bilang sama gue itu Nuel, Wi!"

"WOI! BERISIK BANGET LO." Satu hal yang Adi, sang ketua kelas mereka tidak suka adalah kealayan Tessa.

"Suka-suka gue dong. Mulut-mulut gue kok," balas Tessa.

"Ya Allah ganteng banget ciptaanMu."

"Jodoh gue ketemu cui!"

"Adi, ada bangku kosong?" tanya Bu Ima.

Adi sigap menjawab, "ada Bu. Di samping Rio."

Setelah melihat bangku kosong di samping Rio, Bu Ima kembali bertanya, "memang cuma satu yang kosong?"

Hening sesaat.

"Hmm, ada sih Bu. Tapi..." Adi menggantungkan ucapannya. "Kayaknya Nuel bakal lebih suka sebangku sama Rio aja deh, Bu."

"Loh kenapa?"

Adi menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. "Gak pa-pa, Bu." Ia cengengesan.

"Bangku kosong yang lain ada?"

"Ada Bu. Di..." Adi menunjukkan letak bangku kosong yang tersisa. "situ."

"Oh, ok."

Teman sebangku Rio sudah pindah sekolah sejak awal-awal kenaikan kelas. Padahal sudah beberapa hari mereka berdua duduk bersama. Hingga suatu hari sebangkunya lama tidak datang dan terdengar kabar ia pindah sekolah. Sedangkan bangku kosong satunya lagi memang tidak ada yang mau menghuninya.

"Nuel, kamu mau duduk dimana?"

"Sama saya saja, Bu," sahut Tesa dari tempat duduknya.

"Yee, Lo ngusir gue?!" omel Tiwi.

"Sudah, Tessa kamu sama Tiwi aja," perintah Bu Ima. "Sama siapa Nuel?"

Nuel memperhatikan meja ketiga dari depan dan meja paling ujung. Ia tersenyum miring. Pertanyaan macam apa itu? Bahkan mantan wali kelasnya pun pasti tahu ia akan memilih duduk dimana.

"Paling ujung."

Trackkk...

Suara pulpen jatuh terdengar di ruangan. Semuanya ternganga kecuali Nuel dan Bu Ima. Orang yang duduk paling ujung menengadahkan kepala dari buku tulisnya. Napasnya tertahan sebentar.

ShenuelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang