surprise hug?

3 0 0
                                    

"Kareen, tolong ke ruanganku sebentar."
"Baik Sir."
Tak butuh waktu lama untuk gadis itu datang ke ruanganku.

Dan seperti biasa, ia datang dengan penampilan kantorannya yang khas. Kemeja lengan panjang yang agak kebesaran dan rok pensil selutut yang dikenakannya agak jauh di atas pinggang atau celana panjang khas ibu-ibu kantoran. Seolah hanya warnanya saja yang akan terlihat berbeda setiap hari. Tak lupa sebuah kacamata berlensa agak besar juga bertengger manis di atas hidungnya yang mancung. Ah, satu lagi. Rambutnya yang panjang selalu ia kepang satu di belakang dengan ujung terlipat sampai di atas pinggangnya. Entah seberapa panjang rambut sekretarisku itu.

Mungkin dia sebenarnya cantik. Tapi dengan penampilannya yang begitu dewasa menjadikanya terlihat keibuan. Tampak gadisnya hampir tak terlihat sama sekali. Eh, kenapa aku jadi membicarakan sekretarisku??

"Ada apa Sir?" Tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Eh, ya. Silakan duduk dulu." Ia lalu menggeser sedikit kursi yang mengarah ke depanku.

"Jadi begini. Minggu depan aku akan pindah ke kantor pusat. Aku akan menjadi dirutnya di sana. Mungkin untuk seterusnya." Aku berhenti sejenak. Ingin tahu bagaimana responnya.
Dan.... aku melihat kerut di dahinya. Dan bibirnya sedikit mengerucut. Oh, itu nampak lucu sekali... eh,
"Lalu siapa yang akan menggantikan anda di sini nanti?"
"Kevin yang akan di sini. Ayahku yang memintanya. Karena beliau akan pensiun maka aku yang ditunjuk untuk menggantikannya."

"Oh begitu... ngomong-ngomong tuan Kevin itu bagaimana orangnya?" Reen nampak penasaran. Sepertinya dia tak sabar untuk segera bertemu dengan Kevin.

"Kenapa kau menanyakannya? Apa kau mulai tertarik pada orang yang bahkan belum pernah kau temui? Atau kau sudah tak sabar untuk lepas dariku?" Tanyaku sedikit ketus.

Tiba-tiba wajahnya memucat. Dan dia terlihat kaget dengan ucapanku.

"Bu, bukan begitu Sir. Maksudnya, jika anda sudah pindah nanti maka saya selanjutnya akan membantu orang lain. Dan saya tentunya berharap jika tuan Kevin itu semoga saja orangnya ramah dan baik seperti anda. Karena saya sesungguhnya merasa takut jika berhadapan dengan orang yang galak dan diktator."

Aku terperanjat mendengar penuturan Kareen. Tak menyangka jika ia memiliki rasa takut yang semacam itu.

"Memangnya kenapa kau tak berani dengan orang yang galak? Bukankah selama ini aku juga cukup tegas dalam memberimu perintah? Aku juga kadang tak segan untuk memecat orang jika pekerjaannya tidak sesuai harapan."

"Tapi anda berbeda Sir. Meskipun anda kadang cukup tegas, tapi anda sangat baik dengan semua orang. Karyawan di sini juga sangat senang memiliki pemimpin seperti anda. Seorang yang ramah, dan menegur seseorang yang berbuat salah dengan cara anda sendiri yang bisa membuat mereka hormat tapi tidak takut kepada anda. Dan saya pikir begitulah seharusnya seorang pemimpin, Sir."

Sedetik, dua detik, hingga lima detik. Tak ada yang bersuara. Aku pikir benar juga apa yang dikatakan Kareen. Seorang pemimpin itu layaknya mengayomi karyawannya. Memberikan contoh baik dan tidak bertindak sewenang-wenang apalagi membuat mereka takut.

"Eh, maaf. Sepertinya saya bicara terlalu banyak. Tapi tak apa kan Sir? Mengingat ini mungkin adalah hari-hari terakhir saya bekerja dengan anda. Jadi anggap saja yang tadi itu pesan dan kesan saya. Dan, maaf kalau sudah menghabiskan waktu anda dengan mendengarkan celotehan saya. Saya akan kembali ke meja saya. Permisi."

Aku menatap Kareen yang bersiap pergi. Ia sendiri sepertinya tak percaya dengan apa-apa yang sudah dikatakannya tadi. Aku hanya tertawa dalam hati.

"Hei, tunggu." Dia menoleh.
"Ya?"
"Siapa bilang kau boleh pergi? Aku belum selesai berbicara denganmu." Kali ini aku yang menghampirinya. Dia tak bergeming. Wajahnya menyiratkan tanya. Aku lalu berdiri dalam jarak satu meter tepat di hadapanya.

"Pertama, aku berterima kasih atas pesan dan kesan yang kau berikan tadi. Kedua aku tidak bilang kalau aku akan pergi sendiri ke kantor pusat." Aku menjeda lagi.
"Maksudnya?" Dia menelengkan kepala dan mengerutkan dahi.

"Maksudku adalah, kau akan ikut denganku. Kau akan tetap menjadi sekretarisku di manapun aku bekerja. Itu pun kalau kau masih mau bekerja denganku. Dan sekretaris ayahku yang akan menggantikanmu di sini nanti. Bagaimana? Jelas?" Kataku panjang lebar dengan tempo sedikit lambat agar dia bisa mencerna dengan mudah setiap kataku.

Awalnya dia terlihat bingung. Lalu tiba-tiba ia berlari memelukku! Astaga! Sebegitu senangkah hatinya? Aku tak bergeming. Terlalu terkejut menerima pelukan tiba-tiba ini. Perlahan aku membalas pelukannya.

"Terima kasih Sir. Aku senang bisa ikut denganmu. Aku tak akan canggung nanti. Meskipun di kantor yang baru aku akan bertemu dengan orang baru, tapi rasanya aku tak akan gugup jika tetap bekerja bersama anda. Sekali lagi aku berterima kasih."
"I..iya. sama-sama. Tapi lepaskan dulu pelukanmu. Aku seperti kekurangan oksigen rasanya..." ujarku kemudian yang membuat nya melepaskan pelukannya tiba-tiba dan menutup mulutnya dengan kedua tangan mungilnya. Ia beringsut mundur beberapa langkah.

"Hah... maaf. Sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak sengaja. Mungkin aku terlalu senang." Katanya malu-malu sambil terus membungkuk-bungkukan badannya. Dan spontan wajahnya yang merona itu semakin memerah seperti angry bird.

Aku tertawa dibuatnya. Sementara dia salah tingkah.

"Bahkan kau sudah tak mengatakan "saya" lagi." Ledekku menahan tawa.

Matanya membelalak. Sepertinya ia mulai menyadarinya. Walau begitu, sebenarnya aku tak mempermasalahkan hal semacam itu. Selama ia bisa bekerja dengan baik. Itu sudah cukup bagiku.

you are mineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang