Bahagia Pendekar Binal 8 (Tamat)

3.8K 90 9
                                    

Angin masih tetap meniup mendesir-desir, tapi kedengarannya tidak lagi menangis.

Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan saling berdekapan dengan diam saja. Kegelapan dan kesunyian yang tak terbatas ini memang seakan-akan karunia Thian bagi pasangan kekasih di dunia ini yang sedang tenggelam di lautan cinta.

Cinta adalah semacam bunga yang aneh, dia tidak memerlukan cahaya matahari, juga tidak memerlukan air embun, dalam kegelapan bunga cinta ini malah akan mekar terlebih indah.

Namun kegelapan perlahan mulai lalu, malam panjang akhirnya pergi, fajar telah menyingsing pula.

Mendadak Thi Sim-lan menghela napas panjang, katanya, "Hari sudah terang, cepat amat hari sudah terang!"

Bu-koat hanya memandangi keremangan fajar di luar dengan rawan dan tidak bersuara lagi.

Ia tahu saat bahagia yang dimilikinya selama hidup ini kini sudah tamat terbawa oleh datangnya cahaya sang fajar. Cahaya memang lebih sering membawakan harapan yang tak terkatakan bagi orang lain, tapi bagi Bu-koat sekarang hanya penderitaan belaka.

"Kau pikir hari ini dia akan datang atau tidak?" kata Sim-lan kemudian.

"Mungkin mau tak mau dia akan datang juga," jawab Bu-koat.

"Betul," kata Sim-lan dengan menghela napas, "Urusan toh harus diselesaikan cepat atau lambat, meski dia hendak lari juga tidak bisa lagi. Meski aku tidak berani membayangkan, tapi tak tahan rasanya untuk tidak membayangkan, bilamana fajar menyingsing pula esok, dunia ini entah akan berubah menjadi bagaimana keadaannya?"

"Esok pagi sang surya akan tetap terbit dengan cahayanya yang cemerlang, apa pun takkan terjadi perubahan," ucap Bu-koat dengan tersenyum pedih.

"Akan tetapi bagaimana dengan kita? ...."

Mendadak Thi Sim-lan merangkul Bu-koat erat-erat, katanya pula dengan suara lembut, "Apa pun juga, sekarang kita sudah berada bersama, dibandingkan Siau-hi-ji kita tetap lebih beruntung. Dapat hidup sampai sekarang, tiada sesuatu lagi yang perlu kita sesalkan, betul tidak?"

Hati Bu-koat seperti disayat-sayat, jawabnya dengan menghela napas panjang, "Betul, sesungguhnya kita memang jauh lebih beruntung daripada dia. Dia ...."

"Dia benar-benar seorang yang harus dikasihani," tukas Sim-lan "Selama hidupnya ini pada hakikatnya tidak pernah merasakan setitik bahagia apa pun juga. Dia tidak punya orang tua, tak punya sanak famili, ke sana-sini selalu dicemoohkan orang, dimaki orang. Bilamana dia mati mungkin tiada seberapa orang yang akan meneteskan air mata baginya, sebab semua orang hanya kenal dia sebagai orang busuk ...."

Sampai di sini Thi Sim-lan tidak sanggup melanjutkan lagi, suaranya tersendat-sendat, tenggorokannya serasa tersumbat.

Dengan rawan Bu-koat berkata, "Ya, selama hidupnya memang penuh penderitaan, kecuali malapetaka dan kemalangan, hampir tiada hal lain yang didapatkannya. Dia tidak pernah mendapatkan pujian, juga tidak ...." Ia pandang Thi Sim-lan dengan perasaan pedih dan tidak melanjutkan lagi.

Selama hidup Siau-hi-ji, paling tidak toh masih ada seorang nona yang mencintainya dengan segenap jiwa-raganya, yakni Thi Sim-lan, akan tetapi sekarang ....

Hoa Bu-koat tidak berani lagi memandang si nona, ia menunduk dengan air mata bercucuran.

Sim-lan juga menunduk, katanya kemudian, "Aku ... aku cuma ingin memohon sesuatu padamu, entah ... entah engkau sudi menerima atau tidak?"

"Mana bisa aku tidak menerima?" jawab Bu-koat dengan tersenyum pedih.

Thi Sim-lan memandang jauh ke depan sana, katanya, "Kurasa bilamana sekarang dia mati, maka matinya pasti tidak rela, mati penasaran, sebab itulah ...." Tiba-tiba ia menatap Bu-koat lekat-lekat, lalu menyambung dengan sekata demi sekata, "Kumohon dengan sangat padamu, janganlah engkau membunuhnya. Betapa pun jangan engkau membunuhnya!"

Twins aka Pendekar Binal (Jue Dai Shuan Jiao) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang