Pendekar Binal 7

2.3K 52 4
                                    

"Artinya?" Thi Sim-lan melengak bingung.

"Kalau bukan Hwesio, tentu tidak pantang makan," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

Thi Sim-lan melenggong bingung, mendadak ia melonjak bangun dan berseru, "He, maksudmu jika ... jika mereka lapar, maka dagingmu dan darahmu juga akan dimakannya?"

"Hah, kau ternyata anak jenius, baru sekarang kutahu," ucap Siau-hi-ji dengan tak acuh.

"Wah, lantas bagaimana ini?" Thi Sim-lan menjadi gelisah dan hampir menangis. "Kukira harus ... harus ...."

"Harus" apa ternyata sukar diucapkannya, saking kelabakan ia hanya berputar-putar saja di situ.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang berkata, "Mengapa budak itu bisa menghilang mendadak, sungguh aneh."

Lalu seorang lagi menanggapi dengan nada dingin, "Hari ini dia kabur, besok juga kita akan membekuk dia."

Begitu mendengar suara kedua orang itu, seketika air muka Siau-hi-ji dan Thi Sim-lan berubah hebat.

"Siau-sian-li!" seru Sim-lan dengan saura tertahan.

"Dan Buyung Kiu!" sambung Siau-hi-ji.

"Mari lekas ... lekas kita lari!"

Akan tetapi baru sekarang mereka tahu bahwa jalan yang mereka tempuh ini adalah jalan buntu, tiga sisinya dinding tebing menjulang tinggi, jalan satu-satunya adalah arah yang dilalui Siau-sian-li itu.

Tangan dan kaki Thi Sim-lan menjadi dingin, katanya, "Wah, ini ... ini ...."

"Sembunyi dulu!" seru Siau-hi-ji. Dan baru saja mereka sempat sembunyi, sementara itu Siau-sian-li dan Buyung Kiu sudah muncul.

"Aneh juga Go-bi-san ini, gunung seluas ini ternyata tiada tempat berteduh yang layak, hanya di sini mending dapat digunakan istirahat, marilah kita mengaso sejenak daripada mencari kian kemari," demikian terdengar Siau-sian-li mengomel. Lalu dia mendahului duduk di atas batu, yaitu tempat yang diduduki Siau-hi-ji dan Thi Sim-lan tadi.

Diam-diam Siau-hi-ji dan Thi Sim-lan mengeluh, kalau kedua nona itu tetap berada di situ, sukar diketahui sampai kapan baru mereka bisa lolos dengan selamat.

Entah sudah lewat berapa lama, tiba-tiba Siau-sian-li bersuara pula, "Kau kedinginan tidak?"

"Huh, seperti putri pingitan, begini saja kedinginan," jengek Buyung Kiu. "Sekalipun di tanah bersalju juga aku takkan mengeluh kedinginan."

Siau-sian-li mengangkat pundak dan tidak menanggapi, lalu memejamkan mata untuk istirahat.

Diam-diam Siau-hi-ji mencibir dan membatin, "Sudah tentu kau tidak takut dingin, dengan telanjang bulat saja kau sanggup tiduran di atas balok es, memangnya siapa ingin berlatih ilmu setan seperti kau?"

Selang sejenak pula, tiba-tiba Siau-sian-li berdiri dan berkata, "Kau tidak takut dingin, kau memang hebat, tapi aku tidak tahan."

"Tidak tahan juga harus bertahan," ucap Buyung Kiu.

"O, nona Kiu, Cici yang baik, marilah kita mencari kayu bakar untuk membuat api unggun!" Siau-sian-li memohon dengan tertawa.

Akhirnya Buyung Kiu berbangkit juga dengan kemalas-malasan. Kedua nona melihat ke sana dan ke sini, akhirnya mereka menuju ke tempat sembunyi Thi Sim-lan dan Siau-hi-ji.

Keruan anak muda itu kebat-kebit, pikirnya, "Sialan, mengapa kupilih tempat sembunyi yang terdapat ranting kayu bakar dan rumput kering ini, sungguh sial."

Maklumlah, mereka sembunyi di balik semak-semak yang banyak terdapat daun dan rumput kering serta akar-akar kering yang paling bagus untuk api unggun. Tentu saja Thi Sim-lan terlebih cemas, tangan sampai berkeringat dingin dan tubuh pun rada gemetar. Sementara itu Siau-sian-li dan Buyung Kiu sudah mendekat, karena gemetarnya Thi Sim-lan sehingga akar dan rumput kering ikut bergetar dan menerbitkan suara kresak-kresek.

Twins aka Pendekar Binal (Jue Dai Shuan Jiao) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang