Prolog: Tentang Ansel

21.6K 640 201
                                    

"Ai!"

Suara itu datang bersamaan dengan tepukan ringan di bahu gadis yang bernama lengkap Fairyn Anastasia. Suara yang mengganggu istirahat siangnya di jeda antar kelas.

Pasti si Bawel Arika, gumamnya dalam hati.

Ai menggeliat malas dalam posisinya. Tubuhnya masih sangat lelah setelah semalam tidak tidur menerjemahkan naskah sebagai salah satu tugas ynag harus dikumpulkan hari ini. 

"Ai!" Arika memanggil lagi dengan gemas karena Ai belum menunjukkan reaksi yang diinginkannya. Diguncang-guncangkannya tubuh sahabatnya itu sampai Ai merasa kesal. Akhirnya, dengan setengah hati, Ai menegakkan diri dan menatap sahabatnya itu.

"Apa, Rika Sayang?" tanya Ai malas. Arika memamerkan senyum lebarnya pada Ai. Hari ini dia menguncir rambutnya menjadi ekor kuda yang membuat wajah bulatnya semakin terekspos. Melihat senyumnya yang cerah itu, Ai jadi bertanya-tanya dalam hati apakah wajah mengantuknya adalah salah satu hiburan untuk Arika.

Arika duduk di samping Ai, lengannya mengamit lengan kiri sabahatnya dengan posesif seolah Ai akan kabur dari hadapannya. "Ansel putus sama Adisti!" seru Arika tertahan. Matanya berbinar cerah.

Iris mata Ai membesar mendengar ucapan Arika. Ini adalah berita yang sangat menyejukkan hatinya. Sudah lama Ai menaruh hati pada Ansel. Dia menyukainya karena tahu bahwa Ansel adalah lelaki yang baik yang menghargai sesama manusia. Jujur saja, Ai lebih tertarik pada fakta itu ketimbang dengan wajah ganteng Ansel.

Ai kuliah di salah satu universitas internasional terkenal di Jakarta. Sebagian besar isinya adalah anak-anak orang kaya yang sudah tergerus arus liberalisme. Clubbing dan free sex seolah soal biasa yang menjadi topik di lorong-lorong kampus. Kita bahkan bisa menemukan vending machine khusus untuk kondom di salah satu sudut kampus. Edan! Akan tetapi, semua itu tidak mempengaruhi pangeran hati Ai.

Ansel dan Adisti adalah pasangan terkenal di kampus. Terkenal karena cara berpacaran mereka yang konservatif. Kalau pasangan lain saling melumat dan meraba, pacaran gaya Ansel adalah kencan di perpustakaan atau membahas tugas kuliah sambil menikmati secangkir kopi di sebuah kedai kopi terkenal di gedung kampus. Ai rela melakukan semuanya itu bersama Ansel. Sayangnya, yang ada di sampingnya adalah si Adisti itu, bukan dirinya.

Ai tahu bahwa dia tidak punya hak untuk cemburu pada Adisti. Gadis itu punya segala hal yang bisa membuat lelaki mana pun bertekuk lutut, termasuk Ansel. Tentu saja, memiliki gadis sesempurna itu, Ansel pasti akan menjaganya dengan telaten.

Belakangan Ai memang mendengar gosip bahwa hubungan mereka meretak gara-gara Ansel marah besar karena dipaksa berciuman oleh Adisti di lorong kampus dan menjadi trending topic selama satu minggu. Ai malah berpikir marahnya Ansel itu cute.

"Fairyn Anastasia!" Suara Arika mengganggu lamunan Ai, lalu berdecih kesal. "Kamu denger aku nggak, sih?" Ai mengangguk pelan.

"Iya,  Arika Palma, aku denger kamu," ujar Ai, membalas menyebutkan nama lengkap sahabatnya. "Ansel putus sama Adisti, 'kan?" Ai mengulang informasi yang membuat jantungnya berdebar kencang. Arika mengangguk-angguk dengan semangat.

"Iya! Ayo dong, Ai!" seru Arika sambil menarik-narik lengan Ai.

"Ayo apa, Rik?" tanya Ai bingung. Arika berdecak gemas.

"Ayo mulai deketin Ansel! Kapan lagi ada kesempatan kayak gini? Nanti keburu disamber sama yang lain lho!" tandas Arika. Ai memutar bola matanya. Dia tidak punya keberanian untuk mendekati Ansel. Ai menganggap dirinya sendiri hanyalah seorang mahasiswi invisible di kampus ini. Jangankan dilirik Ansel, saptam kampus pun berulang kali ngotot memeriksa tasnya setiap kali dia masuk area kampus karena dianggap bukan mahasiswa di sana.

Ai menyingkirkan tangan Arika dari lengannya. Dia sungguh tidak ingin membahas ini sekarang, walaupun topik ini sangat menarik untuk dibicarakan lebih lanjut. Dia hanya butuh tidur sebentar sebelum kelas berikutnya mulai.

"Rik, kamu ke sana kek," ujar Ai sambil menunjuk lapangan basket yang ada di sebelah kantin. Arika menaikkan alisnya.

"Ngapain?" tanya Arika, polos.

"Kamu lari keliling lapangan, aku mau tidur sebentar. Sepuluh kali aja cukup kok, Rik!" tandas Ai. Arika menoyor kepala sahabatnya begitu dia menangkap maksud kata-kata Ai.

"Ih! Dasar nggak tau terima kasih!" rutuknya. Gadis itu berjalan menjauh menuju lapangan basket. Sungguh, sesaat Ai berpikir bahwa Arika benar-benar akan berlari mengelilingi lapangan basket itu. Namun, kemudian Arika meleletkan lidahnya pada Ai yang tertangkap mengamatinya, lalu berjalan menjauhi lapangan basket. 

Sial!  rutuk Ai dalam hati.

Sepeninggal Arika, Ai justru mempertimbangkan usalan sahabatnya itu untuk mulai mendekati Ansel. Namun, Ai tahu diri. Dia hanyalah seorang mahasiswi jurusan Sastra. Fakultasnya saja sudah kalah pamor dengan fakultas Ekonomi pilihan Ansel. Hidup Ansel mungkin sudah digariskan menjadi penerus bisnis keluarganya. Sedangkan dia? Ai harus merintis dari awal mimpinya menjadi seorang penulis dan traveler

Ai menghembuskan napasnya ke udara kosong di depannya.

Manusia cuma bisa berusaha, Ai. Tuhan yang menentukan. Untuk Ansel, aku hanya bisa berdoa untuknya. Bukankan doa itu adalah cara terbaik untuk mencintai seseorang? Ai membisiki dirinya sendiri. Dia merebahkan kepalanya kembali ke atas meja dan memejamkan matanya. Kali ini dia benar-benar harus tidur.

***

Wrote: 21 Januari 2017
Published: 27 Januari 2017

***

Besok imlek! Selamat tahun baru China. Nggak usah kasih saya angpao, kasih vote dan komennya saja.

Jangan minta angpao, karena saya single. Kalau kasih calon suami, boleh. Hahaha! 

Sampai jumpa minggu depan untuk part 1-nya.

Cheers,
Astrid

How To Let Go (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang