E X T R A T I G A

3.8K 211 15
                                    

Kejadian yang mirip terjadi lagi satu minggu kemudian. Ansel lagi-lagi membangunkan Ai nyaris tengah malam ketika wanita itu hampir terlelap. Permintaannya cukup aneh. Kali ini dia tidak ingin makan sesuatu. Namun, dia ingin pergi ke Kebun Raya Bogor, berbaring di atas rumput di pangkuan Ai. Sangat spesifik dan menyebalkan sekali di telinga Ai. Memangnya dia bantal yang bisa disandari seenaknya?

Akan tetapi, Ai tidak berani menolak. Meskipun dia yakin seratus persen bahwa istilah ngidam hanya akal-akalan belaka, dia tidak ingin mengambil resiko anaknya terlahir dengan suka ngiler. Mengurus satu bayi ileran tidak mudah, apalagi tiga. Jadi, dengan setengah hati, Ai mengiyakan kembali keinginan Ansel.

Ansel terlihat sangat gembira ketika dia menyetir ke Bogor. Lelaki itu menggenggam jemari Ai dan mengusapnya dengan sayang. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Ai yang lebih memilih untuk memejamkan mata dan meresapi lagu yang diputar radio langganan Ansel.

"Sweety, udah sampai," ujar Ansel sambil mengusap lembut pipi Ai. Istrinya itu tertidur saat di tol. "Bangun, yuk!" Ansel membujuk Ai dengan lembut, tidak ingin wanitanya terkejut.

Ai membuka matanya perlahan. Sapaan 'sweety' terlalu berlebihan, karena biasanya Ansel memanggilnya begitu semacam kode minta jatah. Saat ini pastinya tidak akan ada jatah untuk Ansel sampai anak mereka lahir. Dan Ai kira, mereka sudah pernah sepakat soal itu.

"Sweety?" ulang Ai sambil menaikkan alisnya.

"Iya, karena kamu terlihat manis sekali hari ini, Ryn!" ujar Ansel. "Sudah sampai nih. Turun yuk!"

"Hm," angguk Ai.

Ansel mencium pipinya sekilas, lalu membantunya melepaskan seatbelt.

Ansel menggandeng tangan Ai dengan posesif. Perut Ai sudah terlihat besar meskipun usia kehamilannya baru melewati trisemester pertama. Ansel semakin posesif seiring makin jelasnya ukuran perut Ai. Dia baru menyadari betapa besar kemungkinan ukuran perut Ai ketika memasuki waktu persalinan nanti. Dia bahkan sering sakit kepala kalau membayangkan tubuh mungil Ai harus membawa tiga bayi di perutnya sekaligus. Ai terlihat lebih santai dalam menjalani kehamilan keduanya ini. Dia mengalami mual dan muntah beberapa kali. Yang lebih menyusahkan lagi, mood swing-nya jauh lebih parah daripada kehamilan pertama.

"Kamu cape?" tanya Ansel dengan cemas. Dia merasa bersemangat sekaligus bersalah memaksa Ai melalui perjalanan selama dua jam menuju Bogor. Apabila keinginannya tidak dipenuhi, Ansel bisa murung sepanjang hari dan mulutnya terus menerus komplain tentang apa saja.

"Baru juga beberapa meter jalan, Sel," ujar Ai gemas. "Tuh, mobil kamu aja masih kelihatan!" Ai menunjuk ke belakang. Ansel tertawa pelan.

"Aku kan cuma memastikan kamu nggak cape, Ryn. Kamu itu lagi jadi bumil, ibu hamil. Hamil anakku, tiga lagi," jelas Ansel dengan nada bangga.

"Iya deh, makasih ya, Ansel!" cibir Ai. Ansel tersenyum lebar. Manjanya Ansel membuat lelaki itu sangat mudah dibuat senyum. Dipuji sedikit, dia pasti akan berbunga-bunga.

Cuaca sejuk kota Bogor merupakah hadiah indah untuk mereka. Awan memang tebal, seperti akan hujan dalam beberapa jam lagi. Beberapa jam yang cukup untuk memuaskan keinginan Ansel.

Ansel memilih titik yang cukup baik. Dia menggelar taplak kotak-kotak merah putih di hamparan rumput dan meratakannya sebelum meminta Ai duduk terlebih dahulu.

Dengan cekatan dia mengeluarkan segala bekal yang sudah disiapkan dari rumah, menyusunnya di salah satu sudut. Ansel melepas sepatunya lalu bergabung bersama Ai di atas tamplak itu. Tanpa menunda, dia membaringkan kepalanya di pangkuan Ai.

"Hm, nyaman banget, Ryn!" decak Ansel senang. Ai hanya tertawa pelan sambil mengusap rambut Ansel. Lelaki itu tersenyum puas mendapat perlakukan sederhana itu. Tangannya mengusap perut Ai.

"Kita lagi ada di Kebun Raya Bogor. Letaknya lumayan jauh dari rumah. Papa akan ajak kalian ke sini, kalau kalian sudah besar ya. Supaya kalian bisa lari-larian di sini, terus Papa dan Mama mau pacaran lagi," ujar Ansel pada perut Ai. "Kalian jangan bikin susah Mama. Jangan bikin Mama males makan. Biar aja Mama jadi gendut, biar montok, jadi enak dipegang-pegang. Hmph-!"

Ai menutup mulut Ansel.

"Jangan ajarin anak yang aneh-aneh ya, Sel!" tegur Ai. Ansel menggenggam tangan Ai yang menutup mulutnya.

"Aku itu lagi ngajarin mereka jujur dan terbuka. Itu sikap baik, yang harus ditanamkan sejak dini, Ryn!" sanggah Ansel.

"Dasar otak kamu mesum!" umpat Ai pelan.

"Tuh, mulut kamu yang perlu dijaga. Ngajarin anak mesum segala!" canda Ansel. Lelaki itu tertawa melihat wajah Ai mulai cemberut. "Bercanda loh aku, Ryn! Kamu tuh calon ibu yang berkualifikasi tinggi. Aku yang beruntung dipilih sama kamu."

"Bisa banget ya, bujukin akunya," balas Ai. Dia menjawil ujung hidung Ansel, membuat lelaki itu tersenyum tulus.

"Ah, kamu sih nggak perlu dibujuk, emang udah luluh duluan," tandas Ansel bangga.

Mereka menukar senyum lalu terdiam menikmati suasana yang berbeda. Tak lama kemudian, Ansel memejamkan matanya. Dia merasa terlalu nyaman berada di udara terbuka dengan angin sejuk membelai kulitnya. Belum lagi kaki Ai yang dijadikan bantal empuknya membuat Ansel tidak bisa memikirkan apa yang lebih baik dari itu.

"Hm, Sel?" panggil Ai.

"Apa?" sahut Ansel tanpa membuka matanya.

"Menurut kamu, yang kamu alami ini namanya ngidam?" tanya Ai. Lelaki itu membuka matanya dan menatap mata istrinya. Dilengkungkannya sebuah senyum tipis.

"Aku nggak percaya soal ngidam," jawab Ansel. "Yang aku alami ini, aku anggap sebagai hadiah dari anak-anak kita." Ai menyerngitkan keningnya, tidak mengerti maksud jawaban Ansel.

"Maksudmu?" tanya Ai. Ansel menghela napas.

"Aku dan kamu kan nggak melalui masa pacaran kayak gini. Kita ketemu, ML, lalu kita tau-tau sudah berada dalam pernikahan. Memang sih nggak ada yang salah dalam proses yang kita jalani. Tapi, mungkin anak-anak kita mau supaya Papa dan Mamanya juga melalui tahap pacaran, meskipun setelah menikah," jelas Ansel panjang lebar. "Begini kan enak, Ryn. Santai, seolah tanpa beban. Hanya ada kamu dan aku." Ai tertawa pelan.

"Iya, kamu sih nggak ada beban!" tukas Ai. "Aku nih, dibebankan sama kepala kamu yang keras begini!" Ditepuknya pelan kening Ansel.

"Ha ha ha! Sorry, anak kita maunya Papa yang manja di masa pacaran ini!" ujar Ansel. "Nggak apa ya, diturutin dulu?" Ai cemberut. "Jangan cemberut Mama Sayang, nanti cepet keriput. Mending cium aku, sini!"

"Ih, apaan sih cium-cium segala? Ini tempat umum, Ansel," tolak Ai. "Malu, tau!"

***

How To Let Go (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang