(Rev) 01.1

1.5K 29 0
                                    

“Sudah cantik kok, Mbak Ai!”

Dewa, lelaki berusia 19 tahun itu, duduk di tepi ranjang Ai. Dengan senang hati, dia memuji wanita itu yang terlihat masih tidak percaya diri dengan pakaiannya. Ai menoleh dan melayangkan senyum kepada lelaki yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri. Baginya, ini rumah kedua sekaligus keluarga baginya.

Sebagai seorang penulis, Ai lebih suka menghabiskan waktunya di Bali ketimbang Jakarta. Meskipun demikian, dia memang masih pulang ke Jakarta secara berkala. Saking seringnya dia ke Bali, satu kamar kos milik Ibu Ida seolah memang disisakan untuk dirinya. Dia juga menjadi dekat dengan Ibu Ida dan Dewa, anak bungsu mereka yang masih tinggal di sana.

Ai menatap lagi pantulan dirinya di depan cermin, memastikan penampilannya cukup menyakinkan untuk masuk ke salah satu pusat kehidupan malam di Bali. Demi projek novel terbarunya yang mengangkat tema kehidupan malam, wanita itu merasa harus turun tangan sendiri ke klub malam dan merasakan pengalaman itu secara langsung supaya dia bisa menuliskannya secara sempurna. Membangun mimpi menjadi seorang penulis lepas setelah kuliah dan menjalani hidup seperti angannya bukanlah perkara mudah. Terkadang gadis itu harus melakukan hal ekstrim atau aneh demi memuaskan rasa ingin tahunya sebagai bahan menulis. Baginya, browsing di dunia tidak terlalu membantunya. Mengalami langsung sepertinya tidak hanya membuat wanita itu jadi bisa menulis dengan lebih baik, tetapi juga menyuapi jiwa petualangnya. Seperti yang akan dia lakukan malam ini.

Cocktail dress hitam polos berleher rendah membalut tubuh mungil Ai dengan sempurna, memperlihatkan lekukan tubuhnya dengan lebih jelas. Dia memadukannya dengan kalung berwarna keemasan yang menjuntai sampai ke belahan dada yang mengintip dari potongan dress-nya. Tujuannya sederhana, mengamati sebanyak mungkin yang terjadi di sana, bagaimana suatu hubungan antar manusia bisa bermula dan berkembang dalam beberapa jam saja. Mungkin dia juga akan menyicipi beberapa minuman beralkohol di sana. Sejenak kemudian, Ai mencoret keinginan itu mengingat toleransinya dengan alkohol tidak begitu baik. Dia tidak ingin pulang dalam keadaan mabuk dan melupakan pengalaman yang didapatkannya di sana.

“Aku pergi dulu ya, Wa. Jangan ditunggu pulang,” ujar Ai.

“Beres, Mbak. Good luck ya risetnya,” balas Dewa. Ai mengangguk. Dia mengambil tasnya lalu beranjak keluar.

Ai memesan taksi untuk pergi ke bar yang ada di salah satu hotel berbintang di daerah Kuta. Setengah jam kemudian, wanita itu sudah berhenti di depan hotel. Dengan menarik napas panjang, dia meredakan detak jantungnya yang berlebihan. Ai selalu tidak suka dengan suasana hingar bingar yang ada di dalam bar, ditambah dengan penerangan minim, serta bau rokok  bercampur alkohol. Wanita itu mengingatkan dirinya bahwa dia hanya perlu tetap sadar dan menolak apa pun yang ditawarkan oleh orang lain di dalam sana.

Kepala Ai berputar sebentar, tidak terbiasa dengan paduan gelap dan spotlight yang menyala dan menyambar sesukanya di seluruh ruang itu. Dentuman musik merajai seluruh udara kosong. Rasanya mustahil dia bisa berbicara dengan seseorang di sini.

Seorang pramusaji mendekatinya dan menanyakan sesuatu yang tidak bisa dia dengar. Dengan berasumsi bahwa pramusaji itu menanyakan total tamu, Ai mengangkat jari telunjuk kanannya sebagai jawaban. Lalu dia diarahkan ke salah satu meja kecil yang masih kosong. Dari sana Ai bisa mengamati apa yang terjadi di dalam sana. Wanita itu memesan air mineral yang harganya bersaing ketat dengan deretan minuman beralkohol. Sejenak kemudian, dia mengeluarkan buku jurnal dari dalam tasnya dan mulai menulis dengan bantuan lampu senter dari ponselnya sendiri.

Sesekali Ai memandang sekitar untuk memastikan apakah yang dia tulis sudah cukup sesuai dengan yang ada. Saat itulah matanya berbenturan dengan sosok yang begitu familier. Seorang lelaki tengah berada di antara orang-orang yang sedang menikmati musik di lantai dansa. Sosok itu berhasil membuyarkan konsentrasi Ai dan melemparkan ingatannya ke masa kuliah. Pria itu terlihat sangat mirip dengan Ansel—pujaan hatinya semasa kuliah. Meskipun Ai pernah menjalin hubungan dengan beberapa pria setelah masa kuliahnya berlalu, dia tahu sosok yang satu ini selalu mendapat tempat khusus di hatinya. Anggap saja seperti harapan yang belum tercapai dan dia masih menyimpan harapan itu jauh di dalam dirinya.

Wanita itu terus mengamati sosok tinggi tegap itu dengan seksama, seolah mereguk kerinduan akan cinta pertamanya. Ai bertemu Ansel di tahun kedua kuliah. Mereka kuliah di kampus yang sama, berbeda fakultas. Ansel kuliah di Fakultas Ekonomi, dan Ai kuliah di Fakultas Sastra. Uniknya lagi mereka bertemu di gedung Fakultas Kedokteran. Saat itu Ai bersama Arika, sahabatnya yang kuliah kedokteran, sedang Ansel menjemput pacarnya yang juga anak kedokteran.

Jangan salahkan Ai kalau dia langsung jatuh hati pada Ansel. Lelaki itu memang tampan. Wajahnya oriental dengan tatapan tajam penuh percaya diri. Alis tebal menghiasi mata sipitnya, hidungnya mancung, kumis tipis di atas bibir dan rahang perseginya juga ditumbuhi rambut-rambut halus. Benar-benar maskulin. Tubuhnya menjulang setinggi 180 cm dengan berat badan proporsional.

Mengingat segala detail tentang Ansel membuat wanita itu sadar. Ansel-nya tidak mungkin berada di bar ini. Lelaki itu lelaki baik-baik. Jangankan berpikiran soal pergi clubbing, gaya berpacaran Ansel mirip dengan hubungan anak SMP. Kalau pasangan lain saling melumat dan meraba, pacaran gaya Ansel adalah kencan di perpustakaan atau mengerjakan tugas kuliah sambil menikmati secangkir kopi di sebuah kedai kopi terkenal di gedung kampus. Tindakan paling intim yang dilakukan Ansel adalah menggandeng tangan pacarnya saat menyebrang jalan. Padahal saat itu, obrolan para mahasiswa sudah sampai tahap membuat mabuk pasangan masing-masing dan tidur bersama kekasih mereka.

Ai tahu bahwa dia tidak punya hak untuk cemburu pada Adisti. Gadis itu punya segala hal yang bisa membuat lelaki mana pun bertekuk lutut, termasuk Ansel. Cantik, anggun, cerdas dan calon dokter. Tentu saja, memiliki gadis sesempurna itu, Ansel pasti akan menjaganya dengan baik, termasuk menjaga kehormatannya.

Namun, hubungan manis mereka berakhir dua tahun kemudian. Menurut gosip yang beredar, Ansel marah besar karena dipaksa berciuman oleh Adisti di lorong kampus dan menjadi trending topic selama satu minggu. Ai malah berpikir marahnya Ansel itu cute.

Lamunan Ai terpaksa berakhir karena ponselnya bergetar beberapa kali. Dengan berat hati, dia memalingkan wajahnya dari lelaki yang menarik minatnya itu, melihat layar ponselnya dan mendapati beberapa pesan dari mamanya. Ternyata, Hila hanya menanyakan soal kepulangannya ke Jakarta lusa. Dia mengiyakan pertanyaan mamanya dengan cepat lalu menuliskan bahwa dia akan segera tidur supaya dia bebas dari gangguan. Ai menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. Begitu dia mengangkat kembali kepalanya untuk melihat lelaki yang sama, sosok itu sudah tidak terlihat lagi. Kecewa, wanita itu kembali menekuri buku jurnalnya.

Malam perlahan bergerak larut. Tamu semakin banyak berdatangan. Kebanyakan dari mereka langsung turun ke lantai dansa dan membakar kalori di sana. Ai mengamati dalam diam sambil menuliskan beberapa detail di dalam jurnalnya. Terlihat benar-benar menikmati kesendiriannya di tengah hiruk pikuk bar yang semakin memanas.

Sekitar satu jam kemudian, dia mendapatkan semua yang dia inginkan dari pengalamannya di sana. Dia memutuskan untuk mengakhiri waktunya berada di tempat yang membuatnya sama sekali tidak nyaman. Lagipula dia mulai mengantuk. Ai membereskan barang-barangnya.

Yang dia benar-benar tidak tahu hanyalah kenyataan bahwa Ansel Wilhemus memang berada di tempat yang sama dengannya. Yang dia lihat tadi bukanlah sosok yang mirip, tapi itu adalah Ansel. Betapa waktu yang berlalu bisa mengaburkan kenangan akan seseorang.

***

How To Let Go (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang