Suara 03 - Rasa Bersalah

857 73 17
                                    

Happy reading😊😊😊😊

Dengan mengendarai motor matic, aku mengantar kue pesanan nenek. Sore ini, aku memiliki janji kencan dengan Erlangga, kekasihku. Membayangkan kencan kami sore nanti membuat wajahku terasa panas.
Hubungan asmara kami berjalan dengan lancar, meski pertengkaran kecil sering kali terjadi dengan aku sebagai pemicunya. Aku menuju kafe Garden tempat kami memiliki janji untuk bertemu.

Suasana kafe yang cukup ramai membuatku kesulitan mencari Erlangga. Aku menghela napas lelah, seperti biasa. Kebiasaan Erlangga itu selalu jam karet alias telat. Aku mengambil ponsel yang ada di tas slempang. Dalam sepersekian detik tanganku berayun memencet nomer yang ada diurutan paling atas, pacarku. Ah, kenapa lelaki ini suka sekali membuat aku menunggu.

"Lagi apa sih? Kenapa tidak diangkat, hissh!" Aku menghentakkan kakiku, lantaran kesal dengan Erlangga yang tak kunjung menerima panggilanku.

Pada bunyi dering ke empat, Erlangga menjawab panggilan telponku.

"Hallo, Er. Kamu lagi di mana sih?"

Suara Erlangga tidak terlalu jelas di telingaku. Hanya terdengar suara bising dan deru mesin motor. Sepertinya dia masih di jalan.

"Ya, Tar. Aku masih di jalan." Selalu saja membuatku menunggu, sambil melakukan panggilan aku mencari tempat duduk. Akhirnya aku mendapati satu tempat kosong dekat jendela.

"Masih lama?" Suaraku mulai terdengar merajuk. Aku selalu menjadi gadis manja jika bersama Erlangga. Masa bodoh, toh dia kekasihku.

"Iya Sayang, tung--"

Suara Erlangga terputus, hingga terdengar suara klakson mobil dan bunyi dentuman keras. Aku mulai gusar ketika kehilangan suara Erlangga.

"Er ... halo, halo, Erlangga." Aku berteriak seperti orang gila. Banyak pasang mata mulai melihatku dengan tatapan aneh.

"Ya Allah ... apa yang terjadi?" Air mataku mulai menggenang di pelupuk mataku, kala aku memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.

Aku mencoba menghubungi kembali nomor Erlangga. Nihil! Tidak ada jawaban dari panggilanku, meski begitu aku tidak menyerah. Aku kembali menghubungi Erlangga, satu dua tiga entah sampai berapa kali aku menghubunginya. Hingga pelayan kafe mengembalikan kewarasanku bahwa aku masih di ruang publik.

"Maaf, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Ah, iya Mas. Maaf," aku tertunduk menghapus air mataku.

"Mau pesan sesuatu? Atau ada sesuatu yang Mbak butuhkan?" tawar pelayan kafe padaku. Karena sibuk menghubungi Erlangga, aku lupa belum pesan minum atau makanan.

"Air mineral saja Mas," jawabku.

"Air mineral satu, ada lagi yang bisa saya bantu?"

"Tidak, terimakasih."

"Baik, pesanan saya catat. Mohon tunggu sebentar, terimakasih."

Setelah mencatat pesananku, pelayan pergi dan selang beberapa menit datang membawa pesananku. Limabelas menit aku menunggu Erlangga dengan perasaan was-was, tapi dia tidak kunjung kelihatan batang hidungnya. Kucoba menghubungi Erlangga sekali lagi, jika dia tidak menjawab maka aku akan pulang.

"Halo." Terdengar suara seorang pria menjawab panggilanku, tapi jelas bukan suara Erlangga karena suaranya sedikit berat. Rasa takut mulai menggelayuti hatiku.

Ya Tuhan, kumohon semoga tidak terjadi hal buruk pada Erlangga.

"Halo, bukankah ini ponsel Erlangga?"

"Maaf, apa Anda mengenal pemilik ponsel ini?"

"Eh, iya ... iya saya mengenalnya, Mas." Dengan sedikit terbata aku menjawab, pikiranku mulai melebar ke mana-mana.

Suara Terakhir (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang