Suara 02 - Pertemuan

1K 92 25
                                    

"Halo ...." Aku menjawab panggilan masuk pada ponselku, terdengar isak tangis suara tante Hesti.

"Ada apa Tante? Kenapa menangis?"

"Rama ... Angga, Ram." suara tante Hesti tercekat, membuatku mengernyit bingung.

"Iya Tante, Angga kenapa? Pelan-pelan ..., coba Tante Hesti tarik napas dulu," ujarku menenangkan.

"Erlangga kecelakaan, Ram." Tangis tante Hesti pecah setelah berhasil mengatakan tujuannya menghubungiku.

Kucengkram kuat kemudi mobil, lalu menepikannya di pinggir jalan. Berusaha tenang meski rasa cemas mulai menderaku. "Ya Tuhan, bagaimana bisa? Lalu Tante di mana sekarang?"

Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk, doaku dalam hati.

"Tante sama Om sedang dalam perjalanan ke Rumah Sakit Dr. Sardjito, kamu langsung ke rumah sakit saja ya, Ram." Dengan suara terisak, tante Hesti menjelaskan padaku.

"Iya Tan, ini Rama langsung ke rumah sakit."

Aku langsung melajukan mobil menuju Rumah Sakit Dr. Sardjito. Tante Hesti menghubungiku saat aku sedang dalam perjalanan ke Sleman untuk bertemu dengan Alan, sahabatku. Namun, aku harus memutar balik kemudi setelah mendapat kabar bahwa Erlangga mengalami kecelakaan.

Perkenalkan namaku Rama Mahesa Putra. Aku adalah kakak sepupu dari Erlangga. Hera Saraswati adalah bundaku, kakak kandung tante Hesti. Awalnya keluarga besar bunda tidak mau mengakui Erlangga dan om Dewangga sebagai keluarga. Hal itu disebabkan karena tante Hesti memilih menjadi muslim untuk menikah dengan om Dewangga. Sedangkan keluarga bunda beragama nasrani.

Tante Hesti bahkan diusir dari rumah. Namun, tante Hesti tetap berpegang teguh dengan pilihannya. Dan dia lebih memilih pergi dari rumah, lalu dinikahi oleh om Dewangga dengan hakim sebagai wali nikah.

Setelah beberapa tahun, kakekku mulai melunak dan menerima om Dewangga serta Erlangga sebagai keluarga. Setidaknya itu cerita yang pernah kudengar dari bunda. Karena kejadian itu, bunda memintaku berjanji untuk tetap menikah dengan yang seiman denganku.

Tentu saja aku menuruti keinginan bunda, tidak mungkin aku membantahnya karena hanya aku satu-satunya harapan bunda. Ya, aku anak tunggal sehingga aku begitu menyayangi Erlangga, karena dia seperti adik kandungku.

Dalam keluarga besar, aku yang paling dekat dengan Erlangga. Aku suka sekali menginap di Yogyakarta untuk melepas rindu dengan Erlangga atau sekedar menghabiskan liburan.

Seperti saat ini, setelah menyelesaikan sidang skripsi. Aku langsung terbang dari Surabaya menuju Yogyakarta untuk merayakan liburan serta mengucapkan selamat untuk Erlangga yang telah menamatkan pendidikan sekolahnya. Aku memang bukan asli Yogyakarta, karena keluargaku hidup di Surabaya. Hanya saat libur kuliah saja, aku berkunjung ke rumah Erlangga.

Saat ini, hatiku tidak bisa tenang sebelum tahu bagaimana kondisi Erlangga. Meski begitu, aku mencoba fokus pada jalanan. Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menuju IGD.

"Om, Tante, gimana kondisi Angga?" Aku bertanya pada om dan tante begitu melihat keduanya di depan ruang IGD.

"Masih dalam tindakan, Ram. Kami belum tahu jelas kondisinya, dokter masih berusaha." Om Dewa menjawab pertanyaanku, sedangkan tante Hesti hanya bisa menangis di pelukan om Dewa.

"Kita berdoa untuk Angga, Om." Baru saja aku memberi dukungan pada om Dewa, suster datang menanyakan wali dari Erlangga.

"Wali dari pasien atas nama Erlangga Parikesit?"

"Iya saya, Suster." jawab om Dewa.

"Bisa ikut saya?" Om Dewa mengangguk pada suster. Ia bangkit berdiri, lalu berpesan padaku. "Titip tante ya, Ram."

Suara Terakhir (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang