Suara 08 - Perbedaan

649 56 11
                                    

Perbedaan itu, menjadikan aku dan kamu tak bisa menjadi kita.

******

Aku mencoba memejamkan mata untuk segera tidur. Rasa lelah bekerja seharian membuat seluruh otot dalam tubuhku terasa remuk. Setelah menceritakan semua kekesalan pada kak Rama, hatiku terasa lega. Dia memang pendengar setiaku.

Selama ini aku telah banyak bergantung dengannya, lalu apa jadinya diriku jika tak ada dia dalam hidupku? Entahlah, aku pikirkan nanti saja, yang jelas aku tidak boleh membuka peluang untuknya. Aku tidak ingin memberi harapan untuknya, dia akan terluka. Dan itu bukan hal yang kuinginkan. Aku menyayanginya tapi hanya sebatas sayang adik dengan kakak tidak lebih.

Pikiranku melayang tak tau arah, sepintas bayangan tentang dokter baru muncul di benakku. Emosiku langsung naik ke ubun-ubun saat mengingat pertengkaran aku dengannya siang tadi. Ada apa ini? Kenapa aku memikirkannya?

Bodoh! ujarku dalam hati.

Hari ini ada dokter baru pindahan dari Jakarta. Dia Dygta Damawangsa, usianya sekitar 26 tahun dengan tinggi badan kurang lebih 180 cm, membuatku terpaksa harus mendongak ketika berbicara dengannya. Garis wajah aristokrat dengan rahang tegas, menjelaskan dia berasal dari keluarga kaya.

Tentu saja dia dari keluarga kaya, dia adalah putra bungsu dari keluarga Damawangsa, pemilik dari rumah sakit tempat aku bekerja. Dan aku malah membuat masalah dengan putra bungsu pemilik rumah sakit.

Kupukul kepala ini mengingat kebodohan yang kulakukan tadi siang. Aku menghela napas lelah, mencoba melupakan semuanya. Harusnya aku menjauhi orang-orang kaya. Jujur aku benci dengan orang kaya yang belagu dan arogan seperti Dygta. Keluargaku hanya keluarga sederhana, membuat masalah dengan manusia beruang akan sangat melelahkan. Itu menurutku, lagi pula apa peduliku dengan mereka.

Aku memiliki cara sendiri dalam menjalani hidupku. Tanpa peduli apa kata orang seperti itulah diriku dalam menjalani hidup. Mengabaikan semua pandangan orang tentang diriku. Bagiku, ucapan mereka tidak memiliki pengaruh apa pun dalam hidupku, karena sakit atau bahagia aku yang merasakan bukan mereka.

Mereka hanya bisa melihat, menilai dan berbicara. Jika baik maka mereka akan berkata baik, jika buruk maka mereka akan membuat semakin buruk. Sehingga aku memilih mengacuhkan semuanya, dan menjalani hidup sesuai kemauanku.

***

Dengan mengenakan jilbab berwarna tosca dan kemeja senada serta celana bahan berwarna putih, aku berangkat ke rumah sakit. Semenjak masuk kuliah, aku memutuskan memakai jilbab. Sebagai seorang wanita muslim, paling tidak aku harus menjaga auratku dari lawan jenis. Itulah yang diajarkan bunda padaku.

Hari ini aku sengaja tidak memakai motor, karena aku akan pulang ke Yogya. Ijin cutiku sudah disetujui oleh pihak rumah sakit, sehingga aku hanya perlu datang sebentar dan setelahnya bisa pulang. Rencananya dari rumah sakit aku akan langsung ke stasiun. Ya, kereta adalah pilihanku untuk pulang ke Yogya.

"Kamu bisa kerja tidak, huh? Laporan ini salah semua, aku minta kamu buat ulang!"

"Maaf, Dok. Akan segera saya perbaiki."

Aku mendengar keribuatan di depan nurse stations. Kulihat dokter baru yang bernama Dygta sedang memarahi salah satu suster. Aku berjalan mendekat ke arah keduanya. Bisa kulihat wajah suster dengan name tag Astrid pucat pasi.

Ck! Dasar keterlaluan, mentang-mentang yang punya rumah sakit main seenak udelnya. Aku menggerutu dalam hati, dan diam ada pilihanku saat ini. Aku tidak ingin membuang tenagaku untuk berdebat dengan Dygta.

Suara Terakhir (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang