Suara 05 - Raga tanpa Jiwa

855 40 9
                                    

Saat jantung berhenti berdetak.
Saat napas tak lagi berhembus.
Masih 'kah ada cinta lagi untukku?

*****

Aku hanya bisa menangis meratapi kepergian Erlangga. Mulutku dapat mengatakan bahwa aku mengikhlaskan kepergian Erlangga, tapi hatiku berkata sebaliknya. Tak ada yang bisa kulakukan selain menghabiskan hari dengan menangis, dan menangis. Kedua orangtuaku bahkan sudah mulai mencemaskan sikapku yang hanya berdiam diri di dalam kamar, tanpa ingin melakukan aktifitas.

Seminggu sudah Erlangga pergi meninggalkanku. Air mataku telah kering tapi luka di hati ini masih tetap basah. Aku duduk menatap luar jendela kamarku. Beberapa anak kecil tengah bermain bersama hujan, senyum kecerian terpatri pada wajah mereka. Berbeda denganku, yang hanya bisa duduk diam.

"Sayang ...," suara bunda memanggilku. Aku tahu, dia yang paling mencemaskanku. Bunda bahkan ikut menangis ketika aku mengatakan bahwa diriku lah penyebab kematian Erlangga.

Aku masih tetap diam tak bergeming dari tempatku. Menatap keluar jendela dengan pikiran kosong. Saat ini, aku merindukan Erlangga. Rindu mendengar suaranya, melihat senyumnya, dan segala tingkah jailnya. Dia suka sekali menggodaku, selalu membuat kesal, meski begitu aku tetap mencintainya.

"Apa yang kamu lihat, Sayang?" Aku merasakan napas hangat Bunda di belakangku, dibelainya rambutku dengan sayang. Aku masih tetap diam, bukan bisu tapi karena tak ada yang ingin kukatakan.

"Setiap manusia di dunia ini pasti akan mati. Kita tidak pernah tahu bagaimana cara kita kembali, karena itu rahasia Tuhan. Kita hanya manusia biasa, tidak mungkin bisa melawan kehendak Tuhan."

Benar! Apa yang dikatakan bunda, bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan. Namun, saat ini aku bukan pada kondisi yang bisa memahami nasehatnya. Aku hanya merasa sakit karena kehilangan orang yang kucintai. Itu saja!

Air mataku kembali runtuh kala mengingat tubuh kaku Erlangga. Hangat peluk bunda terasa di tubuhku. Aku mencari tempat ternyaman dalam pelukannya dan menangis sejadinya.

"Keluarkan semua kesedihanmu, Sayang. Habiskan air matamu, dan berhentilah. Karena semua yang terjadi bukan salahmu, semua sudah digariskan sama Tuhan. Kamu hanya manusia biasa yang tidak luput dari dosa dan salah."

Aku mendengar dengan baik ucapan bunda, tapi hatiku masih tidak mau mengerti. Terasa sakit di sini, rasanya seperti ada yang menginjak-injak jantungku. Sesak! Seperti ada tangan yang meremasnya, semua itu buatku sulit untuk bernapas.

"Yang ikhlas Utari, kasihan Erlangga." Aku hanya bisa mengangguk, mengiyakan ucapan bunda.

Ikhlas! Hatiku sudah mencoba untuk ikhlas, tapi itu sulit sekali.

"Sudah, sudah. Cup, cup, cewek cantik nggak boleh nangis, nanti cantiknya hilang." Bunda berusaha menghiburku, sekali lagi aku masih belum berminat membalas ucapannya.

"Kamu harus berjalan ke depan, jangan karena masalah ini kamu berhenti melangkah. Anggaplah semua ini ujian dari Tuhan. Jangan menyerah, putri bunda bukan gadis lemah yang akan menyerah dengan keadaan. Benar begitu?"

Aku menengadahkan wajahku, menatap wajah bunda. Beliau wanita yang sangat aku sayangi dan kuhormati. Parasnya masih terlihat cantik meski usianya sudah setengah baya. Bunda menghapus sisa air mata di wajahku, lalu berujar.

"Cintailah makhluk Tuhan dengan kadar yang cukup, jangan melebihi cintamu pada Tuhan. Karena Tuhan itu pencemburu," ujar bunda. Dia tersenyum, wajah teduhnya membuat laju air mataku terhenti. Bunda mengecup kedua mataku dengan sayang, rasa hangat mulai menjalar di hatiku.

Suara Terakhir (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang