Sejauh apa pun aku berlari, kaki ini akan selalu tertuju padamu.
Dan, sebanyak apa pun aku menyangkal,
hati ini tahu... aku mencintaimu.******
Apa kalian pernah mencintai hingga nyaris gila?
Dan apakah, kalian pernah mencintai tapi tidak bisa memiliki?
Apa yang akan kalian lakukan jika berada di posisiku? Mencintai tapi tidak bisa memiliki. Sekuat apa pun aku berjuang, aku tidak akan pernah bisa menggapainya.
Tak bisa memilikinya, karena dia memang tidak ditakdirkan untukku. Dan tak akan pernah menjadi milikku.
Itu takdir yang telah digariskan Tuhan untuk diriku dan gadis yang kucintai, Utari Sanjaya.
Aku hanya bisa mencintai dia sepuas hatiku, tanpa aku bisa memilikinya. Kadang aku bertanya pada Tuhan, apa dosa yang telah kulakukan hingga Dia menggariskan takdir menyedihkan ini padaku.
Mungkin di kehidupan masa lalu, aku pernah menjadi pembunuh hingga karma kudapat saat ini. Entahlah... hanya Tuhan yang tahu jawabannya.
Jika ada yang berkata bahwa ada pertemuan maka ada perpisahan. Ya, itu benar. Karena itulah yang terjadi saat ini.
Aku melepaskannya, membiarkan dia sendiri. Membawa semua luka dan dukaku. Dia tidak perlu tahu sedalam apa aku mencintainya. Aku hanya ingin dia bahagia, meski aku bukan paket dari bahagia itu.
Angin malam menyapa kulitku. Namun, itu tidak akan membuat mataku teralihkan dari objek yang tengah aku pandang. Dia ada di sana, gadis itu baru saja turun dari mobil yang mengantarnya menuju hotel.
Sebulan sudah aku tidak melihatnya. Dari informasi yang kudapat, Utari akan mengikuti seminar yang diadakan oleh rumah sakit tempat dia bekerja. Kesehatan Utari juga memburuk akhir-akhir ini, gadis itu suka sekali mengabaikan makannya. Hal itu membuatku ingin lari melihat kondisinya.
Kulihat dia menerima kunci kamar dari teman kerjanya. Mataku mengawasi setiap detail gerak tubuhnya. Dia berjalan menuju lift, sedikit kesusahan karena koper coklat berada di tangan kanannya.
Seminar itu diadakan di hotel Horison, Jakarta. Dan di sinilah Utari, dia berada dalam radius sepuluh meter dari posisiku. Aku harus menyembunyikan diri dari radarnya.
Hanya alkohol temanku setiap malam. Aku terbiasa mendengar suaranya via telepon sebelum tidur. Namun tidak untuk satu bulan lalu, karena aku telah pergi dari hidupnya. Aku melenyapkan wajahku dari pandangan matanya. Membiarkan dia bertahan seorang diri.
Aku selalu menghabiskan satu botol vodka setiap malamnya, dan berakhir dengan hangover. Itu caraku menghapus rasa rinduku, dan untuk meredakan sesak di dadaku lantaran tidak bisa mendengar suaranya.
Aku kacau.
Aku gila karenanya.
Jiwaku kosong! Seperti raga tanpa ruh.
Tidak bisa melihat senyum di wajahnya.
Tidak bisa mendengar suaranya.
Dan semua itu menyiksaku!
Membuatku mati perlahan oleh rasa rindu yang menyesakkan.
Rindu itu menjadi racun, merusak seluruh sistem saraf yang ada di tubuhku. Aku akan menemuinya, meski itu akan membuatku mengingkari janji pada bunda tapi setidaknya aku ingin melihatnya.
Aku bahkan rela menderita untuk bisa melihat senyumnya. Dan di sinilah aku, di depan resepsionis hotel.
"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Terakhir (Complete)
RomanceMana yang akan kamu pilih antara aku, atau Tuhan-mu?