"Kenapa sih bunda gak bilang kalau Hervan harus transit dulu di Surabaya, baru lanjut ke Denpassar?"
Gua mengeraskan suara karena kedai Starbucks Bandara Internasional Juanda terdengar begitu ramai.
Suara barista yang bersahutan bergabung dengan deru mesin kopi, membuat suara bunda di telingaku terdengar kabur.
"Tadi tuh counter check-in nya dipisah-pisah, pas Hervan udah jauh-jauh ngantri yang Jakarta-Denpassar, ternyata harusnya Jakarta-Surabaya dulu, bun. Di tiketnya gak ada tulisannya lagi."
"Mana bunda tau, semuanya kan kantor yang urus. Namanya juga gratisan."
Gua baru inget kalau trip—slash—liburan gua ke Bali ini disponsori sebagian sama kantor bunda.
Awalnya, kantor bunda mencapai target tahunan mereka. Seluruh karyawan pun dikasih bonus berupa liburan ke Bali gratis plus membawa satu anggota keluarganya.
Sebenarnya, trip kantor bunda itu udah mulai dari hari rabu kemarin, sampai hari ini doang. Berhubung hari rabu sampai tadi pagi gua masih ada ujian tengah semester, jadi gua baru bisa nyusul sekarang.
Walaupun nanti malem bunda dan rombongan kantornya udah pulang, gua gak mau rugi lah, jadi gua masih dapet tiket pesawat gratis kan intinya. Kapan lagi juga gua bisa dapet liburan gratis selama tiga hari dua malam di Bali, sendirian lagi. Tolong garis bawahi ya, sendirian.
"Pokoknya, kalau udah sampai Ngurah Rai, langsung telepon bunda, biar orang kantor bisa jemput kamu di sana dan kamu langsung gabung sama rombongan kita."
Sebenarnya gak sampai di situ aja sih bunda ngomong, dia masih nasehatin gua dan gua juga masih nge-iya-in semua perkataan dia, padahal sedari tadi sih gua mendongak untuk membaca papan yang penuh bertuliskan berbagai macam jenis minuman.
Masih ada dua orang sebelum gua sampai di depan kasir, lagipula si bunda belum berhenti ngomong ini.
"Iya, bun, udah dulu ya, Hervan lagi ribet nih lagi transit."
Gua memasukkan iPhone putih gua ke dalam saku short pants merah marun yang gua kenakan saat itu, dan gantian ngambil Starbucks card yang ada di dalam saku itu.
Sesampainya di depan kasir, mas-mas barista-nya nanya gua mau pesan apa dengan aksen jawa surabaya yang medok abis.
Sebelum gua bilang pesanan gua, gua udah nyerahin starbucks card gua duluan.
"Peppermint mocha frappucino yang venti ya mas." mas-mas medok itu kemudian memegang gelas di tangan kirinya, dan spidol di tangan kanannya sambil nanya nama gua.
Setelah ngambil Starbucks card gua, gua agak minggir ke pick up point, sampai gak berapa lama kemudian pesanan gua datang.
Gua menggerakkan kedua telapak kaki gua—yang dibalut zig-zag sandals yang sengaja gue beli di uniqlo kemarin khusus buat trip ke Bali ini—ke arah gate lima belas Bandara Internasional Juanda.
Kalau dipikir-pikir kenapa ya bandara ini lebih bersih dan rapih aja kalo dibandingin sama Soekarno-Hatta, udah gitu kalau habis check-in dan perut lo laper, lo gak perlu jauh-jauh pergi ke luar dari gate tunggu lo.
Di samping kanan dan kiri koridor menuju ke gate tunggu, banyak banget tempat makan, coffee shop, dan merchant-merchant komersial lainnya.
Gak seperti terminal keberangkatan domestik Soekarno-Hatta.
Sorry deh kalau norak, ini pertama kalinya gua ke bandara ini nih.
KAMU SEDANG MEMBACA
relationSLEEP
Teen FictionTerkadang stigma yang ada di masyarakat, membuat cowok-cowok harus menyembunyikan kerapuhan perasaannya. Percaya nggak sebenarnya kalau cowok udah patah hati, galaunya lebih menyedihkan dibandingkan cewek? Kalau mau tau lebih lanjut, yuk selami cer...