cycle seven

19.3K 204 2
                                    

"Van?" entah itu bisikan dari Nina yang keberapa kali untuk ditujukan kepada gua.

Jadi, sekarang gua sudah berada di atas tubuh Nina. Kalau dipikirin, gua gak mau lah masa Nina terus yang agresif, cowok macam apaan gua. Jadi gua memutuskan untuk menjelajahi tubuh Nina. Gak tubuh juga sih, baru daerah bibir, leher, dan meremas-remas bagian—you know

Sampai sekarang pun masih, sih. Gua berganti-gantian menjelajahi tubuhnya yang itu-itu aja. Yang penting, gua tau Nina begitu menikmatinya.

Gua bisa mendengar desahannya yang terlihat begitu menikmati apa yang gua lakukan. 

Bukan itu doang sih, gua sesekali melihat dia mengigit-gigit  bibirnya. Belum lagi bisik-bisikan dia yang gombal.

"Kenapa, Na?" tanya gua sambil mengelus-elus pipinya dengan jemari gua.

"Masukin, Van."

Gua tertegun. Belaian jemari gua di wajah Nina berhenti begitu saja. Hati kecil gua tersentuh begitu aja. Gua gak tega kalau harus menyakiti dia, walaupun bukan gua yang merenggut keperawanannya. Tapi ya tetep aja, gua kasihan sama Nina. Lagipula, gua gak siap melakukan ini semua, apalagi menanggung dosanya yang pasti besar banget, kan?

"Enggak usah ya, Nin? Aku gak mau kamu sakit." Jemari-jemari gua kini berpindah membelai rambut Nina.

"Gak apa-apa aku yang mau kok." 

Nina meminta sambil bertindak jauh lebih agresif. Ia membiarkan lidahnya masuk menjelajahi langit-langit mulut gua, dan tangan kanannya meremas-remas organ vital gua yang tidak melemah sedikit pun sedari tadi.

Dengan sopan, gua melepas bibir gua dari bibir Nina dengan perlahan-lahan. Jari telunjuk gua kemudian gua sapukan dengan manja di bibirnya. 

"Kalau aku gak mau gak apa-apa kan Nin? Aku gak mau kita melakukan itu disaat-saat seperti ini, disaat semuanya belum jelas."

"Bahkan, aku aja belum tahu nama tengahmu kan?" tambah gua.

Nina kemudian mengangguk terlihat begitu kecewa, gua bisa membacanya dari kedua bola matanya. 

Entah kenapa ya, gua lebih gak tega menodai dirinya, ketimbang melihat dia seperti ini. Gua kini mencoba meraih tangannya, memutar tubuhnya ke arah kanan, dan memeluknya dari belakang. 

"Maafin aku, Nin. Bukannya aku gak mau, aku mau banget, kamu tau itu."

"Iya, aku tau. Gak apa-apa." 

Sekarang, gantian gua yang menggodanya. 

Gua menyibakkan rambutnya ke arah samping, agar gua bisa mencium-ciumi tengkuk lehernya, lalu dengan leluasa melahapnya.

"Aku boleh mendesah, Van?" Nina berbisik dengan nada yang begitu menggoda.

"Lakukan aja apa yang kamu suka."

Kira-kira apa yang terjadi selanjutnya? 

Nina mendesah-desah? 

Enggak.

Gua salah ngomong kali ya. Ambigu sih kata-kata lakukan apa aja yang kamu suka tadi. Jadinya, sekarang Nina lagi berusaha melepaskan chino pants gua dengan cukup liar, melepaskan boxer gua, dan melahap dengan buas isi yang ada di dalamnya.

Jujur. Gua. Speechless.

This is my first time, and Nina doing so........great.

Gua menarik tubuh Nina untuk kemudian bersandar di dada gua. Kalau terlambat sedikit aja, gua yakin bisa-bisa gua menodai wajah maupun mulut Nina deh. 

"Sayang," kembali Nina berbisik, kali ini sambil meraba-raba dada gua.

"What did you say?!" gua gak sadar kalau tadi ternyata Nina bukan memanggil nama gua, dan yang gua rasakan sekarang cuma pengen terbang.

Nina sekarang terdengar begitu bahagia tertawa terbahak-bahak sambil memeluk tubuh gua dengan manjanya.

"Udah yuk sayang tidur, udah malem banget nih."

"Aye, aye, captain!"

***

Gua kira, bangun pagi, dengan rambut berantakan, muka berminyak, dan mata setengah terpejam, lalu cewek yang lo sayang ada di samping lo dengan bertopang dagu memandangi lo tidur itu cuma ada dalam film-film atau gak FTV-FTV. 

Setidaknya, gua gak pernah berharap kalau itu terjadi di umur gua yang masih tujuh belas tahun ini. Harapan gua tidur di sebelah cewek yang gue kagumi ya kurang lebih tujuh tahun lagi lah.

But, it really happens now. Right now.

Hanya mengenakan underwear berwarna soft entah pink atau ungu, Nina bertopang dagu memandangi gua yang baru bangun tidur. 

Entah sudah berapa lama Nina dalam keadaan seperti ini, yang pasti Nina mengubah kebiasaan menguap dan mengumpat gua ketika baru bangun tidur. 

Nina membuat gua tersenyum sangat lebar sekarang.

"Good morning, sleepy head." 

"Morning, beautiful."

Setelah itu gua mencium kening Nina, mencoba memutarbalikkan tubuhnya. Gua memberikan kecupan kecil di bahu, leher, dan punggungnya, sambil memeluk Nina dari belakang. Kemudian mendekatkan mulut gua ke telinganya dan berbisik. 

"Mandi, yuk!"

Gua kemudian menggendong Nina dengan paksa ke arah kamar mandi. Badannya tidak terlalu berat, sehingga dengan sangat mudah gua bisa menopang tubuhnya. Beberapa puluh detik kemudian, gua dan Nina sudah dibasuh oleh air dari atas shower yang menghujani tubuh kami. 

Kami bergantian saling menyabuni bagian punggung satu sama lain. Selain itu gua sesekali memeluknya dari belakang, sambil mencium-cium tengkuk lehernya.

I really have found heaven on earth now.

"Abis ini kita sarapan yuk!"

Aku mengangguk sambil terus mengeringkan sekujur tubuhku dengan handuk. 

"Terus ke pantai dan anterin aku ke bandara, mau?"

Duh, kenapa sih gua nurut-nurut aja sama cewek yang baru gua kenal belum ada 24 jam? Sejujurnya sih bukan itu yang gua permasalahkan, entah mengapa gua sedih aja bahwa harus secepat ini berpisah sama Nina.

"By the way, aku boleh minta WhatsApp kamu?"

***

Gua gak begitu menikmati sarapan yang kita nikmati di pinggir pantai di Tanjung Benoa ini, fikiran di otak gua ini udh bercabang kemana-mana. 

Cuma sedemikian rupa gua berusaha untuk gak menunjukkannya di depan Nina. Terutama kalau gua sedih ditinggal sama dia. 

Tadi, gua udah nemenin Nina main-main di pantai, i'll try to make some natural laugh and smile. But, i'm faking it

Gua gak bisa memungkiri kalau kepergian Nina nanti benar-benar menyita waktu gua yang semakin banyak untuk melamun. 

Gua menyesap air kelapa muda dari sedotan, sampai akhirnya memberanikan diri untuk mengatakan yang sesungguhnya. "Nin, cepet banget sih kamu pulangnya?"

relationSLEEPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang