Pagi ini aku menghembuskan napas lega, beban yang beberapa hari ini aku simpan telah hilang. Terima kasih atas keterbukaanmu tadi malam yang pada akhirnya membuatku tahu, apa sebenarnya masalah di antara kita. Bukan tentang orang ke tiga atau yang lain sebagainya melainkan tengan diri kita sendiri yang selalu menutup diri. Ingatanku melayan akan kejadian tadi malam.
"Besok aku sudah mau kembali Zahra."
Perkataan Fahri sukses membuatku terkejut, aku mungkin tanpa sengaja sudah melupakan bahwa kau tak selamnya di sini. Nyeri sekali mengingat akhir-akhir ini kita selalu bertengkar.
"Kenapa mendadak sekali?" Aku mengenggam tangan laki-laki itu, tak rela untuk ditinggal lagi.
"Ini tidak mendadak Za, dari kemarin aku sudah mengatakannya kan?"
"Kemarin?" Sepertinya Fahri tidak mengatakan apapun ... ah iya, kemarin kita kan perang dingin.
"Kamu lupa? Ketika itu kamu sedang asyik menulis novelmu, mungkin ucapanku tidak kau perhatikan."
Please jangan ungkit-ungkit hal itu lagi. Aku ingin sekarang saja tidak bertnegkar gara-gara masalah sepeleh ini, setiap membicarakan itu Fahri selalu saja seakan menahan amarahnya.
"Maaf kalau memang tanpa sengaja aku tidak mendengar ucapanmu."
Yah ... aku tidak ingin lagi memancing keributan, aku hanya memainkan kedua tanganku. Tiba-tiba Fahri memelukku erat sekali. Pelukan yang akhir-akhir ini sudah jarang aku rasakan.
"Bisa kah kau nomor satukan aku dibanding dengan novelmu itu Zah? Sehari saja karena aku sangat merindukan perhatianmu."
Aku terperanjat, itukah yang dirasakan Fahri selama ini? Aku merasa bahwa sudah memberi perhatian lebih kepadanya setiap hari, terlebih selama dia di sini. Akan tetapi kenapa itu yang Fahmi ucapkan.
"Maafkan aku Za, aku cemburu kepada laptopmu, aku cemburu kepada iphonemu, aku cemburu kepada novelmu yang selalu kamu nomor satukan daripada aku, suamimu."
Buliran bening yang dari tadi aku tahan kini telah luruh setetes demi setetes. Aku, aku tidak bermaksud untuk melakukan hal itu.
"Ri, aku yang minta maaf. Aku tidak tahu bahwa kamu selama ini mencemburui novelku, aku pikir kamu mendukungku untuk menyalurkan kegemaran menulisku ini."
Kurasakan pelukan Fahri semakin erat, aku memejamkan mataku. Aku bisa merasakan kalau Fahri sangat ingin mendapat perhatianku. Kulihat tangan kanannya melepas pelukannya kemudian menyingkirkan laptop yang sedari tadi ada di atas kasur sebelah kami. kudongakkan kepalaku menatap Fahri. Dia tersenyum, senyum penuh kerinduan dan cinta.
"Aku memang mendukungmu Za tetapi kalau behari-hari kamu menulis, itu malah membuat aku cemburu sayang karena kamu malah asyik dengan duniamu sehingga aku merasa menganggumu."
Aku tersenyum getir, ini adalah tamparan keras untukku. Tidak semua yang aku kira sudah benar itu adalah benar, tanpa sengaja aku telah abai kepada suamiku sendiri.
"Maaf Ri,"
"Aku hanya meminta waktumu sebagai istriku Za. Bisa 'kan?"
Kutatap kedua bola mata Fahri, ada pengharapan yang sangat dalam di sana. Belum sempat aku berkata, dia melanjutkan ucapannya lagi.
"Aku merasa kalau kamu sekarang asyik dengan duniamu sendiri Za. Kadang kamu lalai terhadap tugasmu sebagai istriku"
Bagaimana aku harus menjawab perkataan Fahri. Di satu sisi Fahri benar bahwa sudah seharusnya aku mendahulukan tugas sebagai istrinya daripada memenuhi kegemaranku tetapi...
"Apa aku salah Zah mengeluarkan apa yang selama ini menjadi pikiranku?"
"Kamu gak salah Ri." kuhembuskan napasku perlahan ."Baiklah, aku akan menguragi kegiatanku menulis demi kamu ... maafin aku ya?"
cup..
Apa itu barusan? Satu kecupan melayang begitu saja di pipiku.
"Terima kasih Zahra." Guratan kebahagiaannya terpancar jelas di wajah kotak Fahri.
"Biar bagaimanapun aku adalah istrimu. Jika dengan aku menekan hobiku bisa membuatmu bahagia, aku rela Ri."
Lamunanku buyar ketika ada tangan besar menepuk pundakku. Aku menoleh menatap wajah teduh itu, wajah Fahri suamiku.
"Aku berangkat dulu Ya Za."
Aku tersenyum dan mengamit tangannya untuk kucium.
"Hati-hati Fahri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati
RandomSebuah kumpulan cerita harian, puisi dll. Baik itu kisah dari diriku sendiri atau inpirasi dari curhatan kawan-kawan.