Empat

43 9 16
                                    

Kau mengayunkan tanganmu dengan lemah membuka tirai jendela. Seakan ada yang kau pikirkan, mungkin seseorang. Langit kelabu menghiasi siang itu, wajahmu terpaku melihat langit. Kemudian kau pejamkan mata indahmu, menghembuskan napas perlahan. Sunyi, itulah keadaan disekitarmu saat ini.

"Hai ..."

Pandanganmu teralihkan oleh sebuah suara yang menyapamu, kau sedikit menyipitkan mata indahmu mungkin untuk memperjelas sosok dari kejauhan itu yang perlahan-lahan mendekat. Mimik wajahmu yang datar itu tiba-tiba berubah menjadi bahagia, kau mendekat ke arahnya. Dengan cepat memeluknya, kau pejamkan matamu seakan sudah berkepanjangan memendan rindu untuk orang itu. Selepas memeluknya kau mengedarkan pandanganmu seperti mencari-cari sesuatu.

"Motor?" tanya orang itu, sedangkan kamu hanya mengangguk.

"Ada di depan, tadi diantar calonku."

Kau berjalan menuju kursi ruang tamu diikuti orang tersebut. Raut wajahnya terlihat sedikit sendu, dia mengenggam erat tanganmu, kau membiarkannya. Bukan hanya dia, tapi kamu pun seakan mendam kecewakepada orang itu. Dia bercerita tentang rencana pernikahannya, kau mendengarkan dengan takzim. Sampai pada pembicaraannya yang mengatakan dirinya tidak jadi melangsungkan pernikahan di rumahnya, sontak kau membulatkan mata. Entah perasaan apa yang sedang bersarang di dalam hatimu saat ini. Satu sisi ada kesedihan dimatamu, dan disisi lain seakan ada kelegaan dari rautmu.

Penjelasannya berlanjut. "Aku akan tetap menikah tapi tidak dirumahku karena nenek baru saja meninggal."

Dia mengoyang-goyangkan lenganmu. Kau melihatnya, menatapnya dalam. Seakan masih tidak percaya bahwa ibu tua yang sudah kau anggap nenekmu itu telah berpulang. Butiran bening itu mermebes dari ujung matamu. genggaman tanganmu kepadanya semakin erat.

"Kapan?" tanyamu.

"Kemarin lusa."

"Kenapa baru sekarang kau memberitahuku?!" Matamu mulai memerah menahan amarah.

Dia hanya tertunduk lesu tidak menjawab ucapanmu. Kau berdiri menjauhinya, menyembunyikan kucuran airmata yang mulai membanjir.

"Aku pulang dulu," pintanya.

KUrsi yang didudukinya sedikit berdecit menandakan bahwa iya berpidah tempat untuk mendekatimu.

"Jangan mendekat!"

Dia menghembuskan napas berat lalu memutar tubuhnya.

"Hati-hati," ucapmu.

Setelah kepergiannya kau berjalan menuju jendela untuk mengintip dia yang telah berlalu, tanganmu mengusap bekas airmata yang mengalir tadi.

"Kenapa mendung selalu membawa duka? Kenapa kedatangannya pun membawa duka?"



Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang