16. Lost Control

38.4K 1.3K 3
                                    

Aku membuka mataku saat perih menyapa tubuhku. Rasanya seperti terbakar, aarrgghh apa ini?!

"Jangan bangun Va, lo masih sakit." Arya menekan jidatku, ih apa-apaan deh orang ini.

"Apaan deh lo Ar, gue baik-baik aja kok." ucapku bersikeras untuk bangun. Tiba-tiba perih itu menyerang lagi bahkan hampir di seluruh anggota gerakku. Aku mengernyit bingung, apa yang terjadi padaku.t?!

"Dibilangin nggak usah bandel lo Va. Lo masih sakit!" bentaknya tak suka.

"Apaan nih? Kenapa gue kayak gini?! Lo nyiksa gue ya? Jahat ih!" aku mendelik tajam padanya.

"Enak aja lo ngomong, lo kira gue apaan temen sendiri disiksa. Diem aja sih gue mau ganti perban di tangan lo ini." Arya memegangi tangaku erat-erat, mengolesi lukaku dengan obat merah. Aku meringis kesakitan. Rasanya tangaku seperti disiram air keras.

"Ahh sorry kalau sakit." aku menggeleng tak apa, sejujurnya aku sedikit bingung bagaimana aku mendapat luka semengerikan ini. Arya tidak mungkin menyakitiku. Jadi bagaimana, atau jangan-jangan aku sendiri yang menyakiti diriku?

"A-apa g-gue bertindak aneh?" tanyaku hati-hati. Arya mengangguk, sudah kuduga.

"Gue mau berangkat sekolah." ucapku datar. Yang tentu ditolak keras olehnya. Aku tau dia pasti khawatir padaku. Tapi aku tidak bisa berada sendirian saat ini. Aku tidak bisa.

"Lo harus istirahat dirumah Va! Lo nggak boleh berangkat." tegasnya menyelesaikan perban-perban yang dengan rapi melilit tanganku. Aku menggeleng, aku akan berangkat. Apapun yang terjadi aku harus berangkat ke sekolah. Persetan dengan nantinya akan bertemu dengan Reyhan atau siapapun itu.

"Gue nggak bisa Arya, gue harus berangkat!" ucapku tak mau kalah.

"Jangan konyol Va! Lo maksain diri lo sendiri." Arya mencengkram tanganku erat. Cukup Arya! Biarin gue berangkat! Gue nggak bisa sendirian, karena jika gue sendirian gue pasti akan melakukan hal yang sama seperti tadi malam. Gue juga nggak bisa bilang kan sama lo kalo gue punya gangguan? Lo nantinya akan menjauh juga seperti Rey, gue nggak mau itu sampai terjadi. Aku menepis tangannya dan berlalu ke kamarmandi. Bodohlah dengan larangannya. Dia bukan kak Seven yang bisa memerintahku.

Dengan perlahan aku memakai jaket yang cukup longgar. Sip, setidaknya ini cukup untuk menutup semua luka di kedua lenganku. Beruntunglah luka di betisku tidak separah yang di lengan. Jika iya maka aku tidak tau harus dengan apa menutupinya. Aku menyambar tasku dan memasukkan beberapa obat penenang yang akan selalu ada kemanapun aku pergi kedalam tas. Astaga, bahkan aku tidak percaya aku akan menggunakan obat-obatan terkutuk ini.

Kurasa aku juga harus pergi dari rumah ini. Sebelum Arya menjauhiku, aku akan menjauh lebih dulu. Aku memasukkan semua bajuku kedalam koper. Termasuk baju kotorku.

Ternyata Arya sudah menungguku di meja makan. Ah bodohnya aku datang kemari. Pasti Arya akan bertanya macam-macam. Lalu aku akan memeras otak untuk menjawabnya. Aku menepuk jidatku pelan.

"Kenapa?" tanyanya tepat mewakili semua jawaban yang ingin dia tahu.

"Karena rasanya enak, dan baik untuk kamu." ucapku asal menirukan kalimat di iklan frisian flag.

"Serah lo deh." ucapnya terlihat sedang menahan dongkol setengah mati. Aku terkekeh pelan lalu memeluk lehernya, aku sengaja menempelkan pipiku dengan pipinya. Maafkan aku Ar, aku hanya tidak ingin kau membenciku.

"Gue berangkat dulu oke. Jangan khawatir sama gue. Gue baik-baik aja kok." aku melambai ceria kearahnya. Yosh! Sekarang waktunya berangkat. Harus naik bus? Tidak, nanti lukaku akan terdesak-desak oleh orang lain. Akhirnya aku menyetop taksi saja. Untunglah ada taksi sepagi ini. Tuhan benar-benar sayang padaku.

Teacher I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang