17. Depression

34.5K 1.3K 55
                                    

Reyhan Pov*

Aku merindukannya. Merindukan istri kecilku. Terakhir aku melihatnya adalah saat Ujian Nasional. Setelahnya dia tidak pernah terlihat lagi. Kemana dia Tuhan? Aku bisa gila jika aku tidak dapat melihatnya lagi. Aku tidak tau aku bisa bertahan lebih lama lagi tanpa dia atau tidak.

Aku tau seharusnya aku tidak mencarinya setelah apa yang kulakukan. Kuakui, aku menduakannya dengan Laura. Tapi itu sebelum aku sadar betapa pentingnya Vanila dalam hidupku. Setelah dia meninggalkan rumah, sejak aku tidak bisa melihat senyum menyebalkannya atau saat dia tersipu karena aku mengecupnya. Semuanya, semua ekspresinya entah itu marah atau wajah paling bodoh yang dimilikinya selalu terbayang di depan mataku. Aku selalu berhalusinasi jika dia benar-benar ada di depanku.

Sepulang mengajar yang biasanya akan selalu kuhabiskan dengan bekerja dengan kertas proyek, maka selalu kuhabiskan untuk duduk di sofa ruang tamu menatap pintu kayu yang tertutup rapat. Berharap Vanila akan membuka pintu itu dengan senyum secerah mentari, berlari kearahku menghambur ke pelukanku. Tapi semuanya sia-sia, Vanila tak pernah sekalipun kembali. Itu membuatku frustasi.

Aku membenturkan kepalaku ke meja, menegak alkohol untuk yang ke sekian kali. Ya, kehilangan Vanila membawa dampak buruk bagiku. Kupikir aku akan bahagia setelah dia pergi dan aku bisa menikah dengan Laura, wanita yang bisa bersikap dewasa dan memiliki sifat yang lembut. Jika dibandingkan Vanila tidak ada apa-apanya dengan Laura. Tapi kenapa aku meninggalkannya dan aku sendiri yang terluka? Konyol! Pada akhirnya aku juga meninggalkan Laura. Aku kehilangan keduanya. Antara Laura dan Vanila.

Saat setengah kesadaranku hampir tertelan efek alkohol, Tiba-tiba ponselku bergetar dengan sangat kurang ajarnya.  Terdapat sebuah pesan masuk. Aku sama sekali tidak menghiraukannya. Palingan juga pesan dari operator. Dasar operator ganjen!

Pesan kedua akhirnya masuk. Oh astaga... Hampir saja aku membanting ponselku jika saja aku tidak melihat nama Seven tertera disana.

From: Seven
Hoi brengsek!

Aku mengernyit bingung saat membaca isi pesan itu. Apa maksudnya orang itu?!

From: Seven
Datang ke alamat ini. Sekarang! Jika dalam 15 menit kau tidak sampai maka akan kupastikan kepalamu terbelah dua di meja operasiku!

Aku terbelalak kaget. Tanpa aba-aba lagi aku langsung mengambil jaket dan menyambar kunci mobil. Aku sedikit berdigik ngeri setelah membaca pesan kedua Seven. Dia sama sekali dengan Vanila. Suka mengancam dan setiap ancamannya akan berimbuh hukuman yang mengerikan.

Dan dalam waktu kurang dari 15 menit aku sudah sampai di alamat yang disebutkan Seven. Aku hanya menebak-nebak saja kenapa dia menyuruhku datang. Apa ini tentang Vanila?! Tanpa pikir panjang aku berlari memasuki sebuah rumah dengan lingkungan yang masih sangat hijau. Rumah siapa ini?

"Yo, selamat datang Rey." Seven merentangkan tangannya, dengan senang hati lah aku berniat menyambut pelukan ala pria itu. Namun,
Buaagh... Seven langsung meninju perutku hingga aku terjerembab ke lantai. Seven terus memukuli wajahku berkali-kali tak memberikan sedikitpun kesempatan untukku bertanya. Dia berhenti, kupikir dia sudah puas memukuliku.
"Bangun." perintahnya. Aku menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirku. Sejenak aku teringat bagaimana darah seperti ini mengalir di sudut bibir Vanila. Dimana kamu sayang? Apa kamu tidak tau betapa aku sangat merindukanmu?

"Apa-apaan lo?!" bentakku ketika aku sanggup berdiri sempurna. Kulihat wajah Seven mengeras.

"Untung lo suami adek gue. Jika saja lo cuma pacarnya, gue akan mengeluarkan semua isi perut lo." Seven menarikku ke bagian belakang rumah. Terdapat taman yang sangat luas. Dan juga sebuah danau yang besar. Dari kejauhan aku melihat seorang gadis duduk di pinggir danau. Itu Vanila! Wajahnya terlihat antara sedih dan putus asa. Perlahan aku mengembangkan senyum melihat Vanila baik-baik saja. Tapi tunggu, kenapa terdapat perban di kepalanya?! Apa dia terluka lagi?!

"Apa yang lo liat?" tanya Seven berdiri disampingku, ikut memperhatikan objek yang sama.

"Vanila?" aku menunjuk kearah gadis itu dan Seven mengangguk. Ternyata benar, dia adalah wanita kecilku.

"Dulu dia pernah nyuruh gue buat jadi dokter, awalnya gue bener-bener nggak mau jadi dokter karena gue pengen jadi guru." Seven mulai bercerita.

"Lah terus kenapa lo jadi dokter? Lo nggak mungkin kan ngorbanin cita-cita lo demi Vanila?"

"Karena Vanila sakit. Dan sayangnya lo bener, gue rela impian gue dirampas adek gue satu-satunya itu." he?! Vanila sakit?! Dan dia tidak pernah memberitahuku! "dia bisa lakuin apapun saat dia tertekan. Bahkan dia bisa bunuh diri kalau dia mau. Itulah alesan gue selalu berusaha nggak buat dia marah. Gue jadi dokter juga karena gue pengen jagain dia lebih dari apapun yang pengen gue jaga. Awalnya gue kira gue bisa nyerahin dia ke elo. Tapi gue salah besar dengan nyuruh dia nikah sama lo. Dasar bajingan! Lo liat perban-perban itu?!" lanjutnya lagi. Aku jelas-jelas bisa merasakan aura tidak menyenangkan keluar dari tubuhnya.

Aku masih mencerna apa yang baru saja Seven ceritakan. Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan? Kuperkirakan perban yang ada ditangannya saat itu juga karena aku?! Astaga betapa berdosanya aku. Perlahan Vanila bangkit, dia melihatku dan Seven. Ah ternyata dia sadar aku disini. Vanila melempar senyum kearahku. Cantik, tapi menyimpan luka yang begitu pedih. Aku bisa merasakannya hanya dari tatapan matanya saja. Tanpa ragu aku membalas senyumannya. Aku sangat merindukanmu Vanila.

Tapi tanpa kusangka Vanila perlahan menjatuhkan dirinya ke air. Kejadiannya begitu cepat hingga aku hampir tidak bernafas karena nya.
"Cepatlah bodoh! Dia sengaja! Dan dia tidak bisa berenang!" Seven sudah berlari mendahuluiku. Ucapan Seven benar-benar menyadarkanku dari keterkejutan. Tanpa pertimbangan lagi aku berlari sekuat tenaga dan lansung menceburkan diri ke danau. Dan benar saja Vanila mengambang dengan cantiknya dengan mata tertutup rapat. Kumohon bertahan sayang, aku mencintaimu. Aku segera meraih tangannya dan membawanya ke daratan.

Apalagi yang harus kulakukan?
"Gue kasih dia pertolongan, lo cepet siapin mobil! Kita ke rumah sakit sekarang." aku mengangguk, dan segera menyiapkan mobilku. Ya Tuhan kumohon selamatkan istriku.

Seven menidurkannya di kursi belakang dan mengintruksikanku untuk menjalankan mobil. 15 menit kami sampai di rumah sakit terdekat. Itupun dengan kecepatam yang luar biasa. Aku tidak pernah sepanik ini sebelumnya. Jika bukan Vanila mungkin aku akan membiarkannya mati tenggelam.

Aku berjalan mondar-mandir didepan ruang UGD, sebelumnya aku juga telah menghubungi orang tuaku dan mertuaku. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan. Dalam hati aku berdoa pada Tuhan agar Vanila selamat. Kumohon berikan aku sedikit lebih banyak waktu untuk bersamanya. Minimal biarkan aku menebus semua dosaku padanya Tuhan...

"Bagaimana keadaannya?!" serbuku begitu Seven keluar dari ruang UGD dengan jubah putihnya.

"Kondisinya sudah stabil, tapi sepertinya dia menolak untuk bangun. Bisa dikatakan dia dalam keadaan koma." ucap Seven mengeraskan rahangnya. Aku terduduk lemas di kursi tunggu. Vanila, koma? Dan itu salahku.

"Itu salah lo! Argh brengsek! Gue pergi dulu. Gue nggak mau bunuh lo sekarang." ucapnya berlalu begitu saja. Tanpa lo tegasin gue juga udah sadar semua ini salah gue.  Batinku memberontak.

"Bagaimana menantuku Rey?" tanya mama yang baru datang bersama papa. Aku hanya menggeleng pasrah. Aku benar-benar tidak ingin menjelaskan apapun dan pada siapapun.

"Reyhan, dimana anak mama?!" dan sekarang mertuaku datang dengan sangat tergesa-gesa. Bahkan sebelum sampai padaku, mama mertua sudah bertanya begitu khawatir. Aku tidak ingin menjawab tapi aku cemas juga melihat mama mertua yang sudah sangat ingin menangis.

"Vanila koma." lirihku akhirnya. Tidak kuduga mamaku akan langsunh menangis. Dan mama mertua langsung pingsan.
.
.
.
.
.
Tbc-

Maaf partnya pendek :'3 dan kurang memuaskan -__-
(Min,8/1/2017)

Teacher I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang