Hari-hari Anya menjadi begitu kelam. Tak ada satu hari pun yang Anya lewati tanpa menangis.
Anya merasa dunianya runtuh. Merasa semua orang sangat jahat padanya, karena sudah menghancurkan kebahagiannya.
Anya ... setiap hari hanya diam, seperti orang yang mengalami depresi.
"Anya ... ayo makan dulu, Nak .... Demi kamu sendiri dan bayi dalam kandungan kamu … ayo kembali bangkit, Nak!" Hasna membawakan makanan ke dalam kamar putri sulungnya itu.
Merasa miris dan ikut sedih dengan apa yang sudah menimpa putrinya ini. Tak menyangka jika menantunya akan dengan tega meninggalkan Anya seperti ini.
Meskipun Anya sudah seperti orang depresi, tapi pada kenyataannya, ia ingat untuk tetap peduli pada bayi dalam perutnya yang tak salah apa-apa.
Anya tetap berusaha makan dengan baik. Anya merasa harus menjaga bayinya, menjaga satu-satunya peninggalan Raga.
Ya, Anya memang masih begitu berharap, bahwa suaminya akan kembali. Anya masih percaya, bahwa Raga tidak benar-benar meninggalkan mereka.
Walau pada kenyataannya, sudah lebih dari satu bulan sejak lelaki itu pergi tanpa pamit. Dan juga ... sama sekali tanpa kabar hingga detik ini.
Hasna masih sambil menangis ketika melihat putrinya makan dengan cepat. Kemudian meletakkan piringnya kembali ketika makanan telah habis.
"Terima kasih, Bu," ucap Anya tanpa menatap Hasna sama sekali.
Pandangannya lurus ke depan, dan kosong.
Hasna mengulurkan tangannya untuk mengelus perut hamil Anya dengan lembut. "Tumbuh dengan baik, ya ... cucu Uti! Kelak kamu akan jadi orang hebat, Nak. Uti doakan yang terbaik untuk ibu kamu, dan juga untuk kamu."
Anya sering sekali memberikan afirmasi positif seperti itu pada cucunya yang belum lahir. Ia ingin menenangkan bayi itu supaya tidak stres. Mengingat setiap hari ibunya selalu dalam keadaan tertekan, degan kondisi mental yang terguncang hebat.
"Anya ... nanti Bapak mau ngobrol sama kamu. Sama kita semua. Nanti saat makan malam, kamu tolong keluar kamar ya, Nak. Makan malam bersama kami, sambil lesehan di ruang keluarga. Seperti yang selalu kita lakukan bersama dulu." Hasna menyampaikan pesan dari Damar sang suami, yang disampaikan sebelum lelaki itu berangkat kerja tadi.
Tentu saja tak ada jawaban yang berarti dari Anya. Karena memang ... sejak ditinggalkan Raga ... Anya jadi jarang sekali berbicara.
Walau tak ada jawaban, tapi Hasna tahu bahwa Anya mendengarnya. Hasna kembali merasa begitu miris. Putrinya menikah muda di usia 21 tahun. Diiming-imingi janji manis oleh lelaki yang ditemuinya ketika KKN dulu.
Tapi ternyata Raga ternyata telah mengingkari janji manisnya. Putrinya bahkan ditinggal tanpa pamit dalam kondisi mengandung.
Hasna berusaha kuat sebagai ibu. Kalau tidak ... siapa yang akan menguatkan Anya? Nasib malang tak ada yang mau. Tentu saja. Hasna hanya bisa mendoakan yang terbaik, memohon semoga kemalangan ini segera berlalu, berganti dengan nasib baik yang panjang.
Hasna mengecup puncak kepala Anya dengan penuh kasih sayang. "Ibu hanya ingin Anya tahu ... Anya itu berharga. Sangat berharga untuk kami semua ... untuk Ibu, Bapak, dan juga Dek Andra. Yang kuat ya, Sayang. Demi bayi kamu juga. Kita akan hidup bersama dan bahagia, juga saling menguatkan. Ibu sayang sekali sama Anya, Nak!"
Hasna memberi Anya pelukan singkat, sebelum ia keluar dari kamar ini, sambil membawa piring kosong bekas makan Anya tadi.
Tanpa Hasna ketahui setelah kepergiannya ... Anya baru saja menghapus air matanya.
***
"Andra ... sana ... kamu jemput mbakmu di kamar!" titah Damar.
Sejak tadi, Anya tak kunjung keluar untuk makan malam. Tadi sudah dibujuk oleh Hasna tidak mempan. Siapa tahu saja, dibujuk oleh Andra jadi mau.
"Dibujuk Ibu aja Mbak Anya nggak mau, Pak. Apa lagi sama aku?" Bocah kelas 12 SMA itu langsung pesimis.
"Ya dicoba dulu. Kalau sama kamu nggak mau juga, biar Bapak sendiri nanti yang ke sana!"
"Ya udah, sih. Langsung Bapak saja yang jemput Mbak Anya!"
"Bapak minta tolong sama kamu, Andra ... apa kurang jelas?"
Andra pun menarik napas panjang. Pemuda jangkung 184 cm itu akhirnya berdiri juga. Ia tinggi menjulang sampai harus menunduk ketika melewati pintu-pintu. Takut kejedot.
Karena bukan kejadian satu atau dua kali saja ia kejedot pintu. Sudah sering. Walau kejadiannya lebih sering di luar rumah, sih. Akibat tidak terbiasa dengan struktur bangunan yang masih asing.
"Mbak Anya ...." Andra mengetuk pintu kamar Anya beberapa kali. "Mbak, aku langsung masuk aja, ya!" Andra bicara seperti itu karena tak kunjung ada jawaban dari Anya.
Dengan penuh keraguan, Andra akhirnya membuka pintu itu. Anya masih tetap diam di atas ranjang, dalam posisi duduk, dan bersandar pada mahkota ranjang.
Andra sedih sebenarnya melihat Anya seperti ini. Rindu ingin melihat Anya yang dulu selalu ceria dan positive vibes.
Semua ini gara-gara Raga sialan itu. Andra bersumpah, jika sampai bertemu lagi dengan laki-laki kardus itu, Andra akan langsung menghajar Renjana dengan tangannya sendiri.
Andra duduk di pinggiran ranjang Anya. Dan pemuda itu mulai bicara dengan suaranya yang khas. Suara yang terdengar berbisik-bisik, seperti sedang melakukan ASMR.
Memang begitu bawaan Andra sejak dulu, cukup sulit untuk diubah. Kadang sampai membuat Andra stres karena diledek teman-temannya.
Untung Andra secara fisik sangat menarik. Ia tergolong sangat ganteng, sehingga walau suaranya aneh, tetap banyak perempuan yang naksir.
"Mbak ... ditunggu Ibu dan Bapak di sana. Ayo keluar, yuk! Apa nggak bosan di kamar terus? Bapak mau bicara serius sama kita semua. Semoga bisa jadi solusi, Mbak. Mbak Anya nggak mungkin kayak gini terus, kan? Hidup harus terus berjalan, Mbak. Relakan Raga si goblok itu! Mbak Anya masih punya kami."
Andra coba memberikan afirmasi positif pada kakaknya. Walau terlihat sedikit urakan, Andra sebenarnya sangat sayang pada kakaknya ini. Kakak satu-satunya. Saudara satu-satunya.
Teringat kebaikan-kebaikan Anya di masa lalu padanya, membuat Andra semakin sedih dengan nasib malang kakaknya ini.
"Ayo, Mbak? Perutnya berat pasti, ya! Aku bantu bangun, yuk!" Andra berusaha sebisanya untuk membujuk kakaknya itu.
Sejak awal Andra tahu ini akan sulit. Jadi ia tak terlalu kecewa karena Anya tak kunjung memberi respons.
Andra menarik napas dalam. Ia pun mulai beranjak. Biar Damar sendiri saja lah yang mengajak Anya keluar. Supaya Damar paham tentang sulitnya hal ini. Dan tidak hanya tahu jadi degan memerintah saja.
Baru juga Andra berjalan satu langkah. Tiba-tiba ....
"Dek Andra ...."
Suara itu ... suara yang sudah Andra rindukan sekali. Membuat Andra seketika berbalik sembari tersenyum lega sekaligus bahagia.
"Iya, Mbak Anya?" Andra begitu bahagia melihat Anya mau bicara padanya.
Apa lagi wanita itu kini sedang mengulurkan tangannya. Seolah sedang menagih janji Andra untuk membantunya berdiri.
Tanpa tunggu lama, Andra segera mengulurkan tangannya juga. Pemuda itu meraih tangan kakaknya yang mungil. Lalu memposisikan dirinya di belakang Anya, untuk membantu menopang tubuh kakaknya.
Andra terharu sekali sampai rasanya ingin menangis. Tapi ia tahan sebisanya. Karena gengsi tentu saja. Stereotip laki-laki cengeng itu lemah, masih sangat melekat.
Andra pun merangkul tubuh mungil kakaknya yang hanya setinggi bahunya itu. Menuntun kakaknya berjalan keluar dari kamar untuk pertama kalinya, sejak kejadian pilu kepergian Raga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janda Dinikahi Vokalis Band
General FictionAnya bercerai dalam keadaan hamil. Ia pikir hidupnya sudah berakhir saat itu. Tapi ia dipertemukan dengan Ansel, vokalis Cakrawala Band, yang kini sedang naik daun. Novel sicklit.