Damar dan Hasna tertegun menatap kedua anaknya keluar dari kamar yang pintunya selalu tertutup akhir-akhir ini. Andra memapah sang kakak, berjalan pelan-pelan menuju keberadaan Damar dan Hasna.
Damar dan Hasna jelas terharu. Dada mereka sudah bergemuruh dan sesak. Tapi mereka tahan sebisanya untuk tidak memperlihatkan kesedihan. Hasna diam-diam menghapus air matanya yang mengalir begitu saja tanpa diminta.
Ruangan ini mereka sebut ruang keluarga. Karena mereka sering menghabiskan waktu yang berkualitas bersama di sana. Ada karpet hijau yang digelar lebar, beserta bantal-bantal. Ada satu sofa panjang yang nyaman. Juga ada televisi berukuran cukup besar.
Walau disebut ruang keluarga, sebenarnya tempat ini juga dijadikan sebagai ruang serba guna. Karena makan pun mereka di sini. Keluarga mereka tak punya ruang makan secara khusus.
Walau hidup sederhana, mereka tergolong keluarga yang bahagia dan harmonis. Banyak menghabiskan waktu bersama dan berkualitas.
"Ayo duduk sini, kita mulai makan habis ini!" ucap Damar.
Andra membantu kakaknya duduk di sebelah Hasna. Sementara Andra sendiri duduk di sebelah Damar.
Hasna dengan semangat mengambilkan makanan untuk Anya. "Kamu mau lauk apa saja, Sayang? Ibu sengaja masak banyak malam ini."
Anya tersenyum tipis. Sesuatu yang langka terlihat akhir-akhir ini. "Aku ambil sendiri saja, Bu," ucapnya.
Hasna semakin sesak saja rasanya. Sebuah perkembangan yang pesat. Anya pasti sudah berusaha keras berperang melawan dirinya sendiri. Dan sepertinya Anya telah menang.
Damar pun tak lagi bisa membendung kesedihannya. Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah berlawanan. Kemudian menghapus air matanya yang baru saja mengalir.
Hal itu disadari oleh Andra. Sehingga pemuda itu menepuk-nepuk punggung bagian atas sang bapak.
Mereka mulai makan dengan nikmat. Bersyukur atas segala rizki yang Tuhan berikan. Damar sengaja membiarkan keluarganya makan dulu. Supaya setelah ia bicara nanti, mereka tidak kehilangan nafsu makan -- terutama Anya.
Tak butuh waktu lama hingga mereka akhirnya selesai makan. Damar dan Hasna saling bertukar pandang. Anggukan dari Hasna, membuat Damar akhirnya yakin untuk memulai pembicaraan.
"Jadi Bapak sebenarnya ingin bicara sesuatu pada kalian. Terkhusus pada Anya …." Damar menarik napas dalam. Berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Anya, Sayang ... maaf beribu maaf, Bapak harus bicara seperti ini."
Anya yang sebenarnya sudah tahu ke mana arah pembicaraan sang bapak, segera mengangguk untuk mengkonfirmasi bahwa dirinya baik-baik saja. Siap untuk mendengar apa pun yang akan Damar katakan.
"Sudah lebih dari satu bulan. Tapi Raga benar-benar tidak ada kabar. Juga tidak bisa dihubungi. Bapak tidak mempermasalahkan uang yang sudah digunakan untuk ganti rugi. Toh uang itu dulunya untuk kamu, Sayang – sebelum dibawa kabur oleh Raga. Yang Bapak permasalahkan adalah ... cara Raga yang sama sekali nggak bijak. Kepala keluarga wajib memberi nafkah yang halalan thoyiban. Kamu pasti mengerti maksud Bapak, kan, Nduk?"
Anya terdiam dan menunduk dalam. Ia sudah banyak memikirkan soal hal ini. Tidak munafik, jika membicarakan masalah perasaan … Anya masih sangat mencintai Raga. Tapi Damar benar, dilihat dari sikap dan sifatnya ... Raga memang sama sekali tak mencerminkan contoh kepala keluarga yang baik.
Sudah menipu, kabur, dan sama sekali tak ada kabar. Tidak ada di antara tiga hal itu, yang bisa dicontoh oleh calon bayinya.
“Maafkan Bapak, ya, Nak. Tapi kamu butuh kepastian status. Masyarakat sekitar juga butuh kenyamanan. Kita harus tegas dalam menghadapi masalah seperti ini. Yang dilakukan oleh Raga itu bagaikan penyakit kronis. Yang akan terus menggerogoti jika tidak diobati. Kita ... ajukan gugatan cerai ke pengadilan ya, Nak! Dalam masalah seperti ini, pihak wanita lah yang paling dirugikan. Yang laki-laki enak, bisa menghilang tanpa bekas. Bapak nggak terima anak Bapak diperlakukan seperti ini.”
Anya masih menunduk dalam. Bohong bila ia tidak sedih. Bohong bila ia tidak sakit hati. Ia bahkan sudah menangis saat ini. Hasna segera merangkul Anya, walau ia sendiri pun lagi-lagi tak bisa menahan tangis.
Andra turut bersedih walau ia tak menangis. Justru pemuda itu dikuasai amarah. Membuat tangannya mengepal kuat. Bersumpah akan benar-benar menghajar Raga jika suatu saat bertemu lagi.
"Iya, Pak. Aku ngerti kok. Maaf karena selama satu bulan ini, aku bersikap nggak dewasa. Bapak benar. Memang sudah seharusnya aku lepas dari Mas Raga. Aku nggak layak dapat suami seperti itu. Dan anakku juga nggak layak buat dirawat oleh sosok ayah sepertinya." Anya pun dengan tegas setuju, walau bicara di tengah isak yang menyesakkan dada.
"Benar, Nak. Kamu terlalu berharga untuk hidup selamanya dengan manusia busuk seperti Raga. Bapak beneran nggak terima. Anak-anak Bapak semua kami besarkan dengan penuh kasih sayang. Bapak tidak terima ada yang menyakiti anak Bapak terlalu dalam."
Anya semakin terisak. Bukan lagi menangisi Raga. Namun menangis karena rasa bersalah pada kedua orang tuanya. Ia harusnya sadar sejak awal, bahwa kasih sayang orang tuanya jauh lebih besar dibandingkan Raga.
Tidak ada alasan untuknya ... mempertahankan Raga.
Sudah saatnya mengucapkan selamat tinggal pada lelaki yang lebih cocok dipotong saja alat kelaminnya itu.
***
Ansel menanggalkan pakaian kasualnya yang nyaman. Ia mengenakan setelan milik Wira, yang seukuran dengannya. Mereka sama-sama tinggi kurus. Berbeda dengan Hesa yang lebih mungil.
Jelas Ansel terlihat begitu tampan mengenakan pakaian rapi seperti itu. Pakai baju compang-camping saja ia tampan. Apa lagi berdandan necis seperti ini.
Rambut gondrong selehernya yang biasanya hanya disisir sekenanya, malam ini di-styling rapi, membuat semua orang pangling dan terkagum-kagum.
"Ganteng pol kamu, Dek!" puji Hesa bangga.
Ansel hanya terkekeh.
"Ansel itu cantik ... kalau didandani jadi perempuan, nggak akan ada yang tahu dia sebenarnya berbatang!" sahut Wira sembari tertawa cekikikan.
Tepatnya sebenarnya Ansel itu adalah hasil Maha Karya Tuhan yang premium. Cantik atau tampan itu relatif. Tapi khusus untuk Ansel, keindahan itu mutlak adanya.
Tidak ada orang yang tak terpana tiap kali menatap keindahan fisiknya. Selain tampan ia pun cerdas, memiliki kemampuan sosialisasi yang baik, dan juga berbakat sekali dalam hal musik. Terutama dalam hal bermain gitar dan juga olah vokal.
Setiap sisi wajah dan tubuhnya indah ... sangat indah. Pahatan tangan Tuhan yang Maha Sempurna.
"Aneh-aneh saja kamu Bang Wira ... adik bontot kamu ini laki-laki! Mana ada laki-laki cantik!" Hesa langsung menyemprot kakak pertamanya.
"Kenyataannya begitu! Banyak kok contoh pretty boy zaman sekarang. Macam karakter dalam komik, atau pun karakter manusia AI yang lagi trend akhir-akhir ini. Pada cantik semua itu mukanya! Persis si Ansel!" Wira tak mau kalah.
"Terserah kamu saja lah, Bang! Yang penting Ansel tetap adikku yang paling ganteng!" Hesa tak henti-hentinya membanggakan adiknya sendiri.
Yang diperdebatkan hanya senyum-senyum tipis saja. Kedua kakaknya sejak dulu memang begitu. Suka berlebihan memuji dirinya. Padahal mereka sendiri banyak yang naksir sampai antre-antre macam terima sembako pemerintah.
"Anak-anak ... sudah selesai belum? Ayo berangkat! Sudah ditunggu saudara-saudara yang lain di lokasi!" Amanda masuk ke dalam kamar Hesa, karena ketiga putranya ada di sana semua.
Amanda terkagum-kagum melihat betapa tampan dan rupawan hasil adukan adonannya bersama Harja.
"Masya Allah, ganteng-ganteng semua anak Mama! Dek Ansel ... Masya Allah, kamu harus sering-sering berpenampilan seperti ini. Biar gantengnya tambah nampol. Kamu ganteng sekali, Bontot! Mama sampai meleyot!"
Amanda sudah meleyot-meleyot seperti cacing kepanasan. Saat itu lah anak-anaknya jadi malu sendiri. Mereka berbondong-bondong keluar dari kamar Hesa. Malah meninggalkan ibu mereka yang masih sibuk meleyot brutal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janda Dinikahi Vokalis Band
General FictionAnya bercerai dalam keadaan hamil. Ia pikir hidupnya sudah berakhir saat itu. Tapi ia dipertemukan dengan Ansel, vokalis Cakrawala Band, yang kini sedang naik daun. Novel sicklit.