Episode 14: Digempur Fisik Psikis

13.6K 1.2K 313
                                    

Semalaman Ansel tidak bisa tidur, masih ditambah kelelahan karena latihan ekstrim, kurang istirahat ... membuat Ansel akhirnya jatuh sakit.

Sebenarnya sakit itu bukan hal asing bagi Ansel. Sejak dulu sakit sudah seperti menjadi identitasnya.

Hanya saja, saking seringnya sakit ... Ansel jadi punya kemampuan khusus ... yaitu menyembunyikan rasa sakitnya.

Lebih tepatnya, ia pandai menahan rasa sakit itu.

Dulu Ansel selalu manja kalau sakit. Terutama manja pada kedua kakaknya. Sekarang ... terhitung sejak pergi dari rumah dulu ... mau manja pada siapa?

Lama-lama Ansel jadi terbiasa dengan kesendirian. Terbiasa tidak pernah mengeluh. Terbiasa berpura-pura baik-baik saja.

Nyawa Galen langsung terkumpul sebangun dari tidur. Karena ia melihat sisi ranjang sebelahnya kosong. Ranjang itu terlihat masih sangat rapi, seperti sama sekali belum ditiduri.

"Ansel!" Ia mulai menyerukan nama Ansel dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.

Ia mulai mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. "Oh, udah mandi ternyata! Astaga ... ini baru jam berapa, Sel? Rajin amat kamu!" Galen bermonolog ria.

Galen menunggu masih dengan duduk di atas ranjang. Tak perlu waktu lama sampai Ansel akhirnya keluar dari kamar mandi di sudut ruang. Ia tampak segar, walau rona wajahnya tidak berseri.

"Rajin amat kamu, sepagi ini sudah bangun! Aku tadi padahal cuma nggak sengaja kebangun, rencana masih mau tidur lagi. Tapi sungkan gara-gara tahu kamu udah mandi," oceh Galen 

Ansel hanya tersenyum tipis. "Aku cuma agak gugup, Mas Gal … sebentar lagi mau debut!"

"Gugup jadinya nggak bisa tidur lama ya, Sel? Eh ... jangan-jangan kamu malah belum tidur sama sekali?" tebak Galen.

Ya wajar jika Galen berpikiran seperti itu. Jam 1 malam mereka baru keluar dari ruang latihan. Setelah itu langsung menuju ke asrama.

Galen berbaring duluan di kasur sekitar pukul 2, itu pun ia tak langsung bisa tidur. Galen jelas tahu, Ansel juga masih terjaga jam segitu.

Sementara sekarang adalah pukul 4 pagi. Dan Ansel sudah bangun duluan? Jadi ada kemungkinan Ansel memang belum tidur.

“Aku tidur kok, Mas Gal.” Ansel jelas berbohong. Jelas-jelas karena tak bisa tidur, ia malah jadi naik ke rooftop dan main gitar.

"Bener kamu sudah tidur, Sel?" Galen coba memastikan.

Ansel seketika mengangguk. Tidak bermaksud membohongi Galen. Hanya saja ia tak mau membuat Galen khawatir. Sudah cukup Galen dibuat mumet dengan posisinya sebagai leader.

"Ya sudah, aku gantian mandi dulu kalau begitu, ya!" pamit lelaki manis yang tingginya sama dengan Ansel itu.

Ansel mengangguk sekali lagi. Menatap Galen yang berlalu pergi. Kemudian memijat pangkal hidungnya. Pening sekali rasanya kepalanya.

***

"Ansel ... fokus, dong! Salah terus dari tadi!" Sudah jelas siapa yang mengomel ... Shaquille.

Kesal sekali pemuda itu. Sudah susah payah berusaha merelakan posisinya sebagai vokalis utama ... eh vokalis baru yang dibangga-banggakan, sepertinya sama sekali tidak mumpuni!

Calon anggota yang sama sekali tidak profesional. Suka gagal fokus di tengah penampilan.

"Kamu emang seharusnya latihan dulu lebih lama, Ansel! Kamu sama sekali belum siap debut!" Rocky kali ini.

Ansel tidak pernah berkutik jika yang bicara sudah Shaquille dan Rocky. Terlebih jika mereka berdua menyerang secara keroyokan seperti ini.

Banyak hal yang mendasari, rasa tak enak karena sudah merebut posisi Shaquille, rasa bersalah pada semua member yang sudah berlatih bertahun-tahun, rasa sungkan sebagai anak baru ... semuanya melebur menjadi satu.

"Shaquille ... Rocky ... jangan begitu kalian! Nggak biasanya Ansel nggak fokus seperti ini. Biasanya dia meyanyi dan bermain gitar dengan sangat baik. Pasti dia lagi kecapean!" Galen langsung memberikan pembelaan.

"Kecapean? Mas Gal, a kindly reminder, kita setiap hari latihan di tempat yang sama, dengan waktu yang sama juga. Kita semua sama-sama cape!" Shaquille tidak terima disalahkan.

Galen sedang berpikir lagi bagaimana caranya membela Ansel lagi.

“Shaquille dan Rocky benar, Mas Gal. Aku kayaknya memang belum layak debut." Rasa percaya diri Ansel yang makin memudar, juga kondisi fisiknya yang tidak prima, membuat suasana hatinya juga jadi buruk.

"Jangan gitu, Ansel! Kamu dipilih memang karena memang kamu mampu. Aku percaya itu!" Galen berusaha membesarkan hati Ansel. "Kamu istirahat dulu aja! Pucet banget kamu! Lagi nggak enak badan atau gimana?"

Ansel hanya menggeleng.

"Mas Galen kok bisa sih langsung sayang banget sama Ansel? Apa nggak iri dia debut secepat ini? Bukannya di antara kita, Mas Galen sendiri yang training paling lama?" Shaquille coba minta penjelasan dari Galen.

"Kenapa harus iri, Shaquille? Iri itu penyakit hati! Setiap orang sudah ada rezekinya masing-masing!"

"Jadi Mas Galen ngatain hatiku penyakitan gitu?" Shaquille makin nyolot.

"Bukan begitu maksud aku, Shaquille. Kamu juga pasti sebenarnya sudah paham maksudku, kan?"

Remi tiba-tiba berdeham, membuat semua perhatian tertuju padanya. “Kakak-kakak semua ini sebenarnya kenapa? Debat terus setiap hari! Kenapa kok nggak belajar legowo aja, hm? Apa nggak malu berantem terus?”

"Diem kamu, Rem! Anak kecil tahu apa?" bentak Rocky tak terima, dinasehati oleh yang lebih muda.

"Orang yang kamu panggil anak kecil ini, hanya selisih 1,5 tahun lebih muda dari kamu, Mas Batu! Orang yang kamu panggil anak kecil ini ... nyatanya punya pikiran yang jauh lebih dewasa dari kamu!"

Rocky jelas naik pitam mendengar ucapan Remi yang menurutnya sangat kurang ajar. Rocky langsung menghampiri Remi, menarik kerah kaos polo anak itu.

“Kamu dulu adalah adik kecil kami yang manis. Tapi setelah kehadiran Ansel, kamu jadi makin kurang ajar, Rem. Kamu jadi berani sama aku dan Shaquille!"

"Aku kurang ajar karena ketidak dewasaan Mas Shaquille dan juga Mas Rocky. Aku aja yang masih muda, bisa legowo kok. Lantas kenapa kalian nggak? Waktu debut kita udah sangat dekat. Kita harus fokus mempersiapkan debut. Apa susahnya, sih? Kenapa malah protes terus? Padahal kalian juga sudah tahu apa alasan Mas Ansel digabungkan dengan kita! Karena dia bisa menjadi ace kita!"

Remi tak ada takut-takutnya. Tak peduli Rocky sudah bersiap melayangkan bogem mentah padanya. Yang langsung dicegah oleh Galen.

"Sudah ... kalian ini apa-apaan? Jangan seperti ini tolong!" Galen sedih sekali dengan situasi yang chaos ini.

"Kita dulu jarang berantem. Gara-gara ada Ansel, kita jadi berantem terus setiap hari. Pokoknya dia bawa pengaruh nggak baik buat kita semua!" Shaquille mulai bicara lagi.

"Sudah, Shaquille ... jangan mulai lagi!" tegur Galen.

Perkelahian mereka tiba-tiba teralihkan, oleh suara bruk yang cukup keras.

Suara yang seketika membuat semua orang menoleh pada sumbernya.

Sama-sama terkejut dengan pemandangan yang mereka dapati. Melihat Ansel yang tergeletak di lantai begitu saja.

"Ansel ... astaga ... Ansel kamu kenapa?" Galen  langsung berhambur menghampiri teman satu kamarnya itu.

Kedua mata Ansel masih terbuka. Namun tatapannya begitu kosong. Wajahnya semakin pucat. Disertai keringat dingin yang membasahi setiap inci kulitnya.

"Drama!" tuding Shaquille.

Rocky hanya diam sembari terus memperhatikan. Tatapannya masih begitu dingin dan tajam.

"Mas Ansel kenapa?" Remi pun turut mendekat, merasa sangat khawatir. Terlebih ketika melihat kedua mata Ansel yang mulai menutup perlahan.

"Ansel ... tetap bangun! Jangan tutup mata kamu! Ansel!" Galen terus memanggil-manggil nama Ansel.

Berharap Ansel bisa terus terjaga. Tapi nihil, Ansel benar-benar sudah kehilangan kesadarannya.

"Remi ... tolong cepat panggilkan Pak Nendra, cepat ya!" pinta Galen.

Remi hanya mengangguk dan berlari secepat yang ia bisa.

Janda Dinikahi Vokalis BandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang