4 : Keluarga Itu...

17.4K 2.1K 372
                                    

"Ngumpul bareng keluarga adalah hal teristimewa buat gue." -Alvan-

"Ngumpul bareng keluarga? Maaf, gue lupa rasanya." -Alvin-

~A Thousand Stars for Nathan~

...

Pulang sekolah, Alvan duduk di ruang tengah, menonton program kuis kesukaannya. Bukan hanya dirinya, papa dan mama juga ikut duduk di sampingnya. Kegiatan pelepas lelah sehari-hari, yang sudah ditentukan tanpa kehadiran Alvin.

Alvin selalu menimbulkan keganjilan di rumah ini. Saat Alvan pulang ke rumah dengan mobilnya, Alvin malah ingin berjalan kaki, padahal jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh. Kadang kalau ingin, Alvin bisa saja pulang hingga larut malam.

"Nih, surat panggilan."

Sontak, ketiga anggota keluarga itu menoleh. Alvin tiba-tiba masuk ke rumah tanpa mengucap salam sebelumnya. Cowok itu memasang wajah datar, tanpa semangat hidup seperti biasanya. Mama menggeleng pasrah. Papa yang berperawakan tegas itu hanya melirik amplop panggilan diatas meja.

Alvan bangkit, menggepal tangannya erat. "Alvin, ucap salam!"

  ☁☁☁  

Alvin menggeram, membalas tatapan kembarannya itu tak kalah tajam. Entah kenapa di rumah ini ia sama sekali tidak bisa mengontrol dirinya. Emosinya selalu meluap, seperti ada hawa panas disetiap ruangannya. "Jangan suruh-suruh gue, pecundang!!"

"Alvin!!" bentak papa, bangkit dari sofanya. Jari telunjuk pria itu sudah terancung tinggi menyisakan jarak beberapa senti dari wajah Alvin. "Jangan berani-beraninya kamu bentak Alvan!! Dia abang kamu dan kamu..."

Ingin saja Alvin menutup telinganya sekarang, ia tahu lanjutan kalimat ini. Pasti...

"Anak ingusan yang hanya menyusahkan orangtua."

Anak ingusan yang menyusahkan? Alvin memiringkan kepalanya bingung. Papa aneh, umurnya sudah mau beranjak 17 tahun, tapi pria itu masih saja menyebut dirinya anak ingusan.

Dan kalimat menyusahkan? Jujur, Alvin sedikit keberatan, kadang ia bertanya, apa benar ia ini menyusahkan? Selama ini ia jarang-bahkan nyaris tidak pernah-meminta uang saku dari papa. Uang sakunya berasal dari hasil kerja kerasnya mengikuti kompetisi piano, dan jika sedang beruntung, kadang ia mengisi acara di beberapa kafe.

"Alvin..."

Alvin menoleh menatap mama yang berdiri di samping Alvan. Entah berapa lama ia tidak pernah melihat senyum dari perempuan setengah baya itu. Mama yang dulu selalu mendukungnya, kini juga ikut-ikutan memojokkan dirinya.

"Berubahlah, kami semua lelah menghadapi kamu."

Refleks, Alvin menghembus napas panjang. Ingin saja ia menumbuk dinding kamarnya sekarang. Lelah? Apa orang itu tidak pernah berpikir kalau ia juga lelah? Ia lelah dipojokkan seperti ini, ia lelah bila selalu dibanding-badningkan dengan Alvan, seolah-olah Alvan adalah anak emas yang harus dilindungi dan ia tak lebih sebatas tumpukan sampah dirumah ini.

"Jadi mama mau aku berubah kayak apa?" ucap Alvin parau, memperhatikan ketiga anggota keluarga itu satu per satu.

Hening, tak ada yang membuka suara.

"Aku tahu," Alvin mengangkat sebelah sudut bibirnya sinis. "Kalian mau aku berubah kayak Alvan kan?"

Alvin tertawa renyah, mengangkat dagunya menantang. "Percuma!! Aku enggak akan pernah mau jadi seperti Alvan! Aku enggak mau jadi pecundang kayak dia!"

Sontak Alvan menatap Alvin datar. "Jaga ucapan lo, Vin."

"Oh, lo mau numbuk gue?" Alvin tertawa memperhatikan gepalan tangan Alvan, dengan senang hati ia mengembungkan pipi kanannya, mempersilahkan salah satu bagian tubuhnya menjadi sasaran pukulan Alvan. "Ayo cepat. Ngapain lo diam? Gue enggak pengen hidup kok."

A Thousand Stars for Nathan [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang