2 : Gadis dengan Tongkat Raba

21.9K 2.3K 292
                                    

Ini POV Veny sebelum berangkat sekolah.

Kenalin dia lebih lanjut yuk!!

___

"Aku memang seperti ini, tampil apa adanya dan tidak pura-pura." -Veny-

~A Thousand Stars for Nathan~

...

Langit tampak cerah, sinar mentari pagi baru saja menyembul di balik bantalan bumi, suara kicau burung berbunyi dengan kencang semakin menambah indahnya pagi.

Kringgg...

Gadis yang sedang berada di alam mimpinya itu mengernyit seketika. Dengan mata yang terpejam, berusaha mungkin ia meraih sumber suara yang berhasil membangunkannya di atas meja.

Gadis itu menguap, sama seperti kebanyakkan orang baru tidur lainnya. Hanya saja apa yang ia lihat sekarang hanya gelap, tanpa cahaya sedikit pun yang dapat menerangi penglihatannya.

Tangan gadis itu meraba sekeliling tempat tidur mencari tongkatnya. Ya, sebuah tongkat yang beberapa tahun ini menemaninya berjalan agar tidak tersandung sesuatu.

"Veny!"

Panggilan mama sudah terdengar dari lantai bawah, dan sudah di pastikan ia harus cepat-cepat bergegas sekarang.

Untuk saat ini, ia hanya mengandalkan insting dan perasaannya saja. Melakukan suatu hal tanpa bisa melihat bukanlah hal yang mudah, mungkin sebagian orang akan mengalami keputusasaan pada dirinya.

Semua kecelakaan itu berawal saat ia tertabrak mobil dimasa Sekolah Menengah Pertama. Bohong jika ia tidak merasa putus asa. Ia merasakannya, hanya saja berkat dukungan keluarga dan orang terdekatlah ia bisa seperti sedia kala, meskipun tidak seutuhnya.

"Pagi sayang!!"

Veny tersenyum, keluar dari kamarnya. Seragam OSIS sudah melekat rapi di tubuhnya. Saat ini ia merasa tubuh tegap papa mendekatinya dan menuntunnya ke ruang makan.

Pria setengah baya itu mencubit hidung anaknya gemas. "Anak papa makin hari makin cantik aja."

Veny tertawa pelan, menggeser kursinya.

"Sudah, biar mama aja yang oleskan selai kacangnya," Veny mengangguk, hanya dalam hitungan menit cewek itu sudah melahap sarapannya.

Seperti biasa, pagi ini terlihat cerah.

☁☁☁

Mobil sedan silver berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Murid-murid yang tengah lalu lalang memasuki gerbang, sontak berbisik ke arah temannya masing-masing. Memang tidak semuanya, tapi sebagian besar dari mereka tampak asyik bergosip membicarakan anak konglomerat pemilik mobil silver itu.

Dari dalam mobil, pria berumur empat puluhan itu tampak menghela napas panjang memperhatikan siswa-siswi di sekitarnya. Pria itu menoleh ke arah anaknya sejenak lalu tersenyum lembut. "Benar nih, enggak perlu diantar sampai kelas?"

Veny menggeleng tegas. "Enggak apa pa. Veny bisa sendiri kok."

"Anak-anak sini enggak ada yang jail sama kamu kan?"

Veny menunduk sejenak. Bohong jika tidak ada anak yang menjailinya. Terlalu banyak anak-anak di sini yang menjailinya, mengejeknya dan menjadikannya bahan bualan. Tapi apa boleh buat, bersekolah di SMA Budhi Bhakti telah menjadi impiannya sejak dulu. Mana mungkin 'kan ia membuang impiannya begitu saja?

Lagipula, jika papa tahu ia tersakiti anak-anak sini, pasti papa akan memindahkannya ke sekolah khusus.

"Tenang aja. Enggak ada yang jail kok. Veny turun dulu ya?"

Veny membuka pintu mobilnya, berjalan menyusuri koridor kelas. Di sekolah ini ia memang tidak begitu banyak berteman. Salah jika ada orang yang mengatakan dirinya bahwa ia tipe gadis anti-sosial. Ia sangat senang jika ada orang yang mau berbicara dengannya. Tapi apa boleh buat, teman-teman yang ia jumpa selalu datang dan pergi dalam sekejap.

Ya! Hanya datang di saat butuh.

Brakk!!

"Sial."

Veny terduduk. Seseorang baru saja menabraknya, dari suaranya mungkin suara cowok, terdengar khas dan berat. Baiklah, Veny ingat, hanya ada dua orang pemilik suara khas ini. Siapa lagi kalau bukan Alvan teman sekelasnya, dan Alvin kembaran Alvan.

"Maaf Van."

Untuk kedua kalinya, suara berat itu mendesis, hembusan napas sinis terdengar jelas di telinga Veny. "Selain enggak bisa lihat ternyata lo sok tahu juga ya? Dengar baik-baik, kalau lo manggil gue Alvan lagi. Hati-hati, jaga nyawa lo."

Veny mengangguk, takut. Perlahan, jari-jarinya saling bertautan, mencengkram roknya dengan erat. Sakit, kenapa anak-anak sini tak bisa menerima kekurangannya?

Baiklah, tak apa jika mereka tak bisa menerima, tapi setidaknya ia ingin orang-orang itu menjauhinya, berhenti mengganggunya, dan seandainya saja boleh, sedikit saja ia ingin kehadirannya dihargai.

"Ven..."

"Maaf," gumam Veny, menggigit bawah bibirnya erat. "Aku minta maaf."

Perlahan, ia merasakan sebuah tangan mengelus rambutnya dengan lembut, begitu lembut hingga mampu menenangkannya.

"Sudah... lo tenang aja. Gue Alvan, Alvin udah kabur dari tadi. Ayo berdiri."

Veny berdiri, meraih tongkat dari genggaman Alvan.

"Maafin adik gue ya? Yah... dia memang suka cari masalah sih. Tapi, lo mau kan maafin dia?"

Veny terdiam sejenak, rasa hangat mendadak memenuhi sekelilingnya. Jujur ia bingung harus berekspresi seperti apa sekarang. Marahkah? Sedihkah? Atau...

Senang?

Entahlah tak ada yang tahu. Yang pasti suara dan nada lembut ini mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang selalu ia kagumi dalam diam, seseorang yang sedari dulu dicarinya, dan orang itu bernama...

Nathan.

___

Revisi : 01.08.17

Rezty Wi Palestina

A Thousand Stars for Nathan [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang