6 : Sensi Alvan

20.1K 1.7K 277
                                    

"Pertama biasa aja, kedua penasaran, ketiga kenalan, keempat pengen jadi teman, setelah jadi teman pengennya minta lebih. Itulah manusia." -Hendra-

~A Thousand Stars for Nathan~

...

Kelas Bahasa 1 tampak hening, guru Sastra Indonesia berperawakan muda itu tengah asyik menjelaskan 'apa yang dimaksud dengan puisi?', 'apa saja bentuk-bentuk puisi?' dan 'bagaimana cara membuat puisi yang baik dan benar?'

Pelajaran yang menyenangkan, tidak membuat otak tegang, dan para murid bebas menyalurkan kreatifitas lewat sebuah rajutan kata yang indah.

Dari bangku belakang, Alvan memutar-mutar pena hitamnya dengan serius. Tidak! Bukan serius mendengar penjelasan guru. Cowok itu tengah serius memperhatikan Veny yang duduk di samping jendela, sendirian.

Tidak seperti biasa, jika Veny biasanya selalu tersenyum mendengar segala kalimat-kalimat indah di dalam kelas ini, maka sekarang cewek itu meringis, sesekali mengusap pergelangan kaki kanannya.

Alvan menggeram, mencengkram penanya dengan erat. Seandainya saja ia tak perlu menjaga harga diri, mungkin Vion-cowok pecundang itu-sudah habis di tangannya. Tapi sayang, bukan Alvan namanya jika predikat baik tidak menempel pada dirinya.

"Alvan! Baca halaman 112!" suruh guru di depan.

Hening, tak ada sahutan Alvan. Pikirannya terlalu fokus memandangi ekspresi gadis di samping jendela itu.

"Woi Van!" bisik Hendra menyikut lengan Alvan dengan kuat.

"Ya!" Alvan tersentak, seluruh murid-kecuali Veny-memperhatikannya dengan bingung. Secepat mungkin Alvan membuka buku sastranya.

"112 Van," bisik Hendra.

Alvan mengangguk, mengencangkan ikatan dasinya lalu berdiri. Puisi dari Sapardi Djoko Damono. Puisi cinta dengan makna-makna indah didalamnya.

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan, kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan, awan kepada hujan yang menjadikannya tiada."

Suara tepuk tangan memenuhi ruangan kelas. Alvan tersenyum memperhatikan Veny, cewek itu melupakan rasa sakit di kakinya sejenak dan malah tersenyum sambil bertepuk tangan dengan senang.

Cantik, batin Alvan.

"Alvan, jelaskan maknanya."

Alvan tersenyum puas. "Puisi 'Aku Ingin' ini menjelaskan tentang seseorang yang jatuh cinta diam-diam kepada orang yang dicintainya. Puisi ini sebenarnya memiliki makna yang cukup banyak, selain yang sudah saya sebutkan sebelumnya, puisi ini juga mengungkapkan perasaan sang penyair yang tidak bisa berpindah hati kepada orang yang di cintainya."

"Gagal move on Van?" tanya murid bangku depan.

"Yap," jawab Alvan antusias.

"Gila sumpah! Deep banget!" komentar cewek duduk di bangku deretan ketiga.

Alvan tertawa, memperhatikan bukunya sejenak. "Di puisi ini, Saparadi juga menggunakan kata-kata tertentu, seperti kata api dan abu. Kedua kata ini melambangkan 'semangat' dan 'sesuatu yang tidak berguna'."

Lagi-lagi suara riuh tepuk tangan ditujukan untuk Alvan. Bel usai pelajaran berdering, Alvan mengibaskan belakang celananya, duduk dengan nyaman.

"Sekian pelajaran hari ini, selamat pagi."

"Pagi bu," balas murid-murid serempak. Guru keluar, diikuti puluhan murid kelaparan dari belakang. Dari dalam kelas, Alvan mengemas bukunya dengan cepat lalu berjalan menuju bangku depan.

A Thousand Stars for Nathan [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang