11 : Pianis

13.8K 1.5K 90
                                    

"Tanpa lo sadari, kesakitan-kesakitan kecil itu dapat menuntun lo ke arah kebahagiaan yang besar." -Alvin-

~A Thousand Stars for Nathan~

...

Olive mengangguk paham mendengar cerita Alvin. "Oh, berarti lo suka Veny waktu di kompetisi itu?"

"Yap," jawab Alvin meneguk air mineralnya. Sekarang sudah hampir setengah jam ia memesan makanan disini, dan hampir setengah jam pula perutnya melantunkan nada-nada indah keroncongnya. Oh ayolah! Mana pesanannya! Cacing-cacing di perutnya bisa mati nanti! Bukankah kita enggak boleh membunuh sesama makhluk hidup?

Olive mencondongkan tubuhnya, berbisik. "Vin, lo kenal Nathan?"

"Nathan?" ulang Alvin.

Olive mengangguk cepat.

Alvin mengangkat kedua sudut bibirnya, tersenyum samar. "Gue saranin, lo jangan pernah cari tahu tentang dia."

☁☁☁

Alvin tersenyum puas, melangkah keluar dari rumah makan. Bukan hanya dirinya yang merasa puas sekarang, Olive yang berjalan di sampingnya juga tak kalah puas. Jangan tanya berapa kali cewek itu menambah makanannya, mungkin banyak kali, dan benar-benar seperti bukan Olive.

Olive berjalan ke arah parkiran, menuju mobilnya. "Lo serius belum mau pulang Vin?"

Alvin mengangguk, menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Serius. Kalau lo mau pulang, pulang aja dulu. Gue lagi malas duduk di rumah, sesak dada gue kalau ada di sana. Gue mau jalan-jalan dulu."

Olive menghidup gas mobilnya, mengangguk. "Ya udah, gue duluan ya. Hati-hati Vin."

Alvin mengangkat sebelah sudut bibirnya, menatapi mobil merah Olive yang mulai berjalan jauh. Ia memang tidak ingin pulang, tapi kalau tidak pulang harus kemana ia sekarang? Jalan-jalan kemana?

Alvin mengangkat kedua bahunya tidak peduli. Terserahlah, yang penting ia sedang tidak bersama ketiga anggota keluarga itu sekarang.

Alvin melangkahkan kakinya, sesekali ia mendongak, memperhatikan bangunan-bangunan tinggi di sekelilingnya. Ruko dan gedung warna-warni berderet di sekitar jalan raya. Seingat Alvin, ini satu-satunya jalan yang pernah ia lewati bersama Veny, saat pertama kalinya ia bertemu cewek itu, tertawa lepas bersama cewek itu, dan bisa memperhatikan cewek itu tanpa halangan sedikit pun.

Alvin tersenyum tipis, menendang batu kerikil di hadapannya. Bohong jika ia tidak menyukai Veny, ia masih menyukai Veny bahkan sangat sangat menyukainya. Tapi entahlah... rasanya mustahil. Terlebih lagi Veny yang sekarang terlihat jauh lebih akrab bersama Alvan.

Alvin menghembus napas panjang, lagi-lagi rasa sesak menghujam dadanya. Baiklah ia akui, Alvan memang lebih cocok bersama Veny. Alvan yang dikenal baik, pintar, dan memiliki kehidupan yang sempurna bisa berpasangan dengan Veny, cewek tulen yang sangat perhatian. Alvan pasti bisa membahagiakan Veny di bandingkan dirinya.

Veny tak mungkin bisa bahagia dengannya, bagaimana bisa ia membahagiakan Veny sedangkan membahagiakan diri sendiri saja rasanya sulit? Hidup Veny akan susah bila bersamanya, dengan Alvin yang dikenal kasar, pembuat onar, dan brutal.

Alvin menggeleng pelan. Hanya keajaiban yang bisa mendekatkannya kepada Veny.

Sontak, Alvin menghentikan langkah memperhatikan bangunan mewah di hadapannya. Sebuah cafe bernuansa klasik dengan perpaduan antara warna cokelat muda dan cokelat tua. Keren.

"Cafe 28NY," gumam Alvin sambil mencondongkan tubuhnya, mengintip dalam ruangan melalui kaca luar. Pengunjung tampak ramai, ada yang asyik mengobrol, ada yang sibuk berkutat dengan laptopnya, dan ada pula yang sibuk berfoto ria bersama teman-teman.

A Thousand Stars for Nathan [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang