23 : My Twins?

14.1K 1.5K 250
                                    

"Kejujuran memang menyakitkan. Tapi setidaknya, sebuah kejujuran tidak akan membuatmu tersesat." -Olive-

~A Thousand Stars for Nathan~

...

Angin berhembus kencang, langit malam bewarna keunguan seperti tanda ingin hujan. Dari dalam kamar, tampak Alvan memejam kedua matanya erat. Tidak! Ia sama sekali tidak tidur, ia hanya duduk sambil menyilangkan kakinya di atas ranjang.

Kata orang meditasi dapat menenangkan pikiran, dapat melepaskan hormon-hormon stress dalam tubuh kita. Tapi... entahlah, semakin ia mencoba untuk bermeditasi, pikirannya malah semakin melayang kemana-mana.

Secepat mungkin Alvan membuka mata, menarik napasya terengah-engah. Ia sedang tidak melakukan apa-apa sekarang, tapi kenapa rasanya lelah sekali? Seperti ada batu berton-ton menimpa tubuhnya, terasa berat, dan... sakit?

Ya, tepat sekali.

Alvan menghembus napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke arah dinding lalu menatapi langit-langit kamar berwarna krim.

Alvin berdiri susah payah, lalu mencengkram kerah baju Alvan, erat. "Lo kembaran gue kan? Lo yang hancurin hidup gue kan?"

Alvan mengangguk pelan, dapat ia rasakan tenggorokkannya mulai tercekat sekarang. Berusaha mungkin ia menelan ludah, dan sayang, rasa sesak semakin menusuk daerah dadanya.

Ia memang kembaran Alvin, ia memang pengecut, ia memang brengsek dan jika ada kata yang lebih dari brengsek, mungkin dengan senang hati ia akan menggunakannya. Tapi percayalah, sebrengsek-brengsek dirinya, ia tidak ingin menghancurkan hidup Alvin.

Ia juga menginginkan kembarannya itu bahagia, ia ingin Alvin berada disisinya. Tapi...

Hidupnya terhimpit, hidupnya berada di tengah-tengah antara memilih Alvin atau kedua orangtuanya.

Alvan berdecak, meluruskan sebelah kakinya. Seandainya ia tidak sepengecut ini, mungkin hidup Alvin baik-baik saja.

"Alvan, keluar sayang. Kita makan malam dulu," panggil Mama, dari depan pintu kamar.

Alvan menggeleng pelan, kedua mata bundarnya perlahan-lahan tampak berair.

"Van, lo enggak cocok manggil dia adik. Dia enggak cocok punya abang kayak lo. Alvin sudah serahin semuanya buat lo. Semua kebahagiaan dia udah dia serahin demi cowok egois kayak lo."

Alvan memejamkan matanya, tertunduk lemas. Kenapa harus dirinya? Tidak seharusnya Alvin menyerahkan semuanya. Dan pengakuan itu semakin membuat dirinya terdengar kejam.

Sangat-sangat kejam.

Alvan menggepal tangannya erat, dihirupnya oksigen sebanyak-banyaknya lalu ia hembuskan dengan perlahan. Ia tidak akan membuka matanya, tidak-akan. Biarkan ia tetap seperti ini, biarkan ia menembus semua kesalahannya seperti ini.

Olive menyipitkan kedua, memperhatikan Alvan drngan tajam. "Dia nakal karena dia mau rebut kebahagiaan dia lagi, rebut dari lo yang pernah enggak pernah ngerti perasaan dia."

"Gue ngerti Live, gue ngerti," gumam Alvan, pelan. Tidak perlu menjadi diri Alvin untuk cukup tahu perasaan cowok itu. Cukup dengan melihat Alvin di rumah ini saja sudah berhasil menyakitinya, raut wajah Alvin, sorot mata kecewa kembarannya itu...

Sungguh ini benar-benar sakit.

"Van, kamu benar. Aku bodoh dan aku menyusahkan. Aku enggak pantas masuk sekolah ini dan semester depan mungkin aku pindah dari sekolah ini."

Alvan berisak, memejamkan kedua matanya erat, entah sejak kapan dirinya seperti ini. "Enggak Ven, jangan... semua salah gue, maaf... maafin gue."

Kriett...

A Thousand Stars for Nathan [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang