Prolog

223 30 13
                                    

"Jika kamu adalah takdirku. Aku yakin, kita akan menemukan jalan untuk bersama. Kini, jalan itu sudah terbuka." - Nagita.  

****

Tahun 2002

"Saat kita dewasa nanti, aku janji akan menjadi pengantin lelakimu," ujar seorang anak lelaki bernama Egi yang berusia 14 tahun kepada gadis kecil di sampingnya. Gadis itu adalah tetangganya yang lebih muda dua tahun darinya. Nagita.

"Kenapa tiba-tiba kamu ngomong begitu? Aku nggak ngerti dengan apa yang kamu bicarakan." Nagita yang sedang menangis tampak berpikir sesaat, "tapi, saat aku sudah memahaminya nanti, aku akan menagih janjimu itu." Nagita menatap Egi dengan mata yang berkaca-kaca. Sedangkan, Egi hanya tersenyum dan mengusap linangan air mata di pipi Nagita. Lalu, mereka saling mengaitkan jari kelingking dan berkata, "Janji."

Sebenarnya Egi kurang memahami maksud dari janji tersebut. Saat itu, dia hanya tahu bahwa janji itu adalah satu-satunya cara agar bisa menghibur gadis kecilnya. Lalu mereka bisa terus bersama dan saling menjaga. Seperti halnya orangtua mereka.

Egi tidak tega melihat kesedihan yang begitu dalam di mata Nagita saat pemakaman almarhum papanya. Nagitanya kini harus menjadi anak yatim di usianya yang masih muda. Ia pun memutuskan untuk selalu membuat gadis kecil itu tersenyum.

***

14 tahun kemudian ...

Suasana semarak mewarnai sebuah rumah sederhana di daerah Duta Harapan. Malam ini sedang berlangsung acara makan malam dalam rangka syukuran perayaan ulang tahun Nagita. Selain dihadiri oleh para tetangga, seluruh keluarga besar Egi juga tampak hadir.

Menyambut pertambahan usia Nagita ini, Egi memang sengaja menyulap ruang tamu rumah keluarga Nagita menjadi berbeda dari biasanya. Kertas warna-warni berbentuk bulat kecil-kecil ditempel pada tembok ruangan berwarna putih. Setiap sudut ruangan selain dipenuhi rangkaian aneka balon diikat pita cantik, juga dilengkapi dengan meja kaca berhiaskan mawar segar di atasnya, yang menyajikan berbagai macam hidangan. Lampu-lampu gantung kecil berbentuk bintang dan balon bertuliskan 'Happy Birthday Nagita', semakin memberi kesan indah ruang perayaan tersebut.

Setelah dirasa seluruh persiapan telah oke, Egi lalu mematikan lampu ruangan dan mereka semua menunggu kepulangan Nagita dengan rasa yang sulit terucap kata-kata. Tak lama kemudian, orang yang dinanti pun tiba. Nagita pulang dari tempat ekspedisi dan berbelanja kebutuhan warung serta toko online-nya dengan menaiki gojek online. Ia tampak lelah dan kesal, karena Egi menolak menjemputnya. Padahal Nagita sangat ingin makan malam romantis berdua dengan Egi di hari ulang tahunnya ini. Tapi, jangankan menjemput, mengingat hari ulang tahunnya saja belum tentu dilakukan Egi.

"Assalamu'alaikum, Ma. Nagita pulang," seru Nagita dari depan pintu. 

Saat membuka pintu rumah, Nagita terperanjat.

"Kok tumben gelap, Mama sudah tidur yah?" ujarnya sambil berjalan pelan mencari sakelar lampu dan menyalakannya.

"Surpriiiiiise ... !!! Selamat ulang tahun, Gigi sayang," ujar mama Ros, ayah Andi, dan bunda Rita bersamaan. 

Tak lama Egi pun datang membawa sebuah cake cantik dengan lilin angka dua puluh enam.

"Happy Birthday, Gigi," ucap Egi dengan senyum jahil tapi manis. 

Nagita tak dapat berkata apa-apa. Setumpuk kekesalannya pada Egi lenyap saat mendapat surprise di hari pertambahan usianya. Ia tampak larut dalam suasana pesta itu, bercakap-cakap, bersenda gurau sambil menyantap hidangan dan kue buatan mama Rosi.

Nagita sangat bahagia karena orang-orang yang ia cintai berkumpul tepat di hari spesialnya. Mama Rosi tercinta, satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah kepergian papa Rendy enam belas tahun silam. Ibu Rita dan ayah Andi, tetangga sekaligus sahabat ayahnya yang telah dianggap seperti orangtuanya sendiri dan satu laki-laki istimewa, sahabat sejak kecil sekaligus cinta terpendamnya.

Saat acara makan malam telah usai dan para tetangga lain sudah pulang, mereka berlima kembali bertukar cerita di ruang keluarga. Tiba-tiba saja, ayah Andi membuka pembicaraan serius.

"Nagita, sekali lagi Ayah mengucapkan selamat ulang tahun untuk kamu yah, Nak. Sekarang Ayah ingin menyampaikan amanah dari almarhum Papamu dulu. Mudah-mudahan hal ini akan menjadi kado terbaik yang kami berikan sebagai orangtua untukmu. Dulu saat melihat kebersamaan kalian sedari kecil, entah mengapa kami yakin jika kalian bisa saling menjaga dan membahagiakan satu sama lain. Saat ini Nagita sudah lebih dari cukup usianya untuk berumah tangga. Egi juga sudah mapan. Jadi Ayah rasa sudah waktunya kalian diberitahu akan janji Papa Rendy dan Ayah dulu untuk menjodohkan kalian. Setelah ini Ayah berharap Nagita dan Egi sebaiknya mulai memikirkan hubungan kalian lebih serius agar bisa segera lanjut ke jenjang pernikahan. Sayang, Papa Rendy tidak bisa bersama kita saat ini. Namun, ayah ingin kalian memenuhi impian dan janji tersebut."

Ayah Andi menutup pembicaraan dengan meraih tangan Egi dan Nagita, lalu menyatukan tangan keduanya. Mama Rosi merangkul Nagita di sisi kiri dan ibu Rita merangkul Egi di sisi kanan, memberikan dukungan atas keputusan suami-suami mereka.

Nagita dan Egi saling berpandangan. Nagita memandang Egi dengan wajah merona. Kebahagiaan terpancar dengan jelas dari binar matanya. Egi sesaat terpaku. Tak lama kemudian, ia melepas genggaman tangannya dan bangkit seraya melepas pelukan sang bunda. Hatinya diliputi kebimbangan.

"Maaf, semua. Egi butuh waktu untuk memikirkan perjodohan ini." 

Ia lalu meninggalkan rumah Nagita. Ruangan yang tadinya penuh kebahagian berubah menjadi hening. Semua terpaku mendengar ucapan Egi tersebut.

**** 

TYPO? Vote dan komentarnya ditunggu.

My Dream WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang