Chapter : 2

1.6K 147 33
                                    

Suara gelak tawa yang selama ini sangat kurindukan. Karena telah lama hilang, aku ingin menikmatinya. Suara tawa yang dulu kuhasilkan bersama Jae Hee dan Chan Hee kini telah hilang.

Tidak, aku bahkan tidak sedang merindukan wanita itu. Yang kurindukan hanya sosok puteraku, Chan Hee yang semakin lama akan beranjak dewasa. Ia semakin menghindariku atau bahkan membenciku.

Semenjak Eun Hee datang menggantikan Jae Hee di rumah ini, Chan Hee jadi semakin membenciku.

Aku juga bukan membenci mereka, hanya saja ini masih terasa aneh. Eun Hee dan Eun Woo yang datang ke kehidupan kami. Aku masih belum bisa menerimanya, seperti yang Chan Hee rasakan.

"Hore, kita main di luar kan eomma?" ucapnya begitu bersemangat saat Eun Hee selesai melakukan kegiatannya tadi.

Senyuman wanita itu entah mengapa ia sudah menunjukannya pada kami setahun setelah usia pernikahan kami. Kurasa ia sudah bisa menerima keadaan, tapi lain denganku.

"Appa," sapa Eun Woo saat aku mengambil air minum dari lemari pendingin.

Lagi-lagi ekspresi yang kutunjukkan padanya hanyalah senyuman datar.
Yang pasti membuatnya kecewa.

"Kajja, eomma sudah selesai," ucap Eun Hee yang sudah bersiap.

Bukan dengan pakaian resminya tentunya, aku tau mereka hanya akan pergi ke bawah untuk menuju taman bermain. Yang bahkan sangat jarang dikunjungi. Mengingat gedung apartement ini sudah tak lagi ada anak-anak, semuanya berisi para orang dewasa yang penting. Tidak bermaksud sombong hanya saja, di apartemen ini berisi para petinggi perusahaan.

"Kajja," jawab Eun Woo riang.

Setelah dua manusia itu pergi untuk keluar, puteraku juga keluar dari persembunyiannya. Dia begitu mirip denganku. Sangat menyukai ketenangan.

"Bagaimana sekolahmu? tidak ada masalah kan?" tanyaku yang masih berada di area dapur.

Ku sandarkan tubuhku pada samping lemari pendingin yang otomatis Chan Hee akan menatap ke arahku.

"Biasa saja," ucapnya lalu menutup pintu lemari pendingin itu seusai mengambil sebotol air putih. semenjak hari itu, aku kehilangan sosok Chan Hee yang ceria dan ramah.

Tidak, aku tidak menyalahkan pernikahan keduaku. Disini akulah yang salah, aku pantas menerimanya.

"Baguslah, appa senang mendengarnya," ucapku sambil merebut air mineral dari tangannya.

Aku tak berniat menghiburnya ataupun menggodanya hanya saja ini sudah menjadi kebiasaan kami sejak lama.

.

Aku menatap mereka dari sini, dari balik kaca jendela gedung ini. Aku hanya berani melakukan hal ini. Layaknya pengecut, mengamati mereka dari jauh. Meski pada faktanya kami tinggal satu atap.

Tapi inilah aku.

Mereka , Eun Hee dan Eun Woo tengah bermain bersama di taman bermain. Bukankah aku adalah ayah yang buruk? Tampak senyum Eun Woo yang bebas, begitu juga dengan Eun Hee.

Aku tak tau betul apakah itu senyum yang mencerminkan isi hatinya.

Wanita itu, sudah enam tahun aku bersama Eun Hee tanpa satu kata yang harusnya mengikat kami.

Cinta? aku tak tahu apa aku mencintai wanita itu, yang ku ingat kami menikah karena ulahku. Satu kata yang membuat kami bersatu, keterpaksaan.

Kurasa dunia kami berputar begitu cepat, enam tahun berlalu begitu saja.
Tak ada kata-kata manis, sikap romantis layaknya keluarga harmonis lainnya.

Eun Hee, hanya meminta agar aku menjadi ayahnya Eun Woo. Tidak lebih.  Sangat disayangkan, aku dan Chan Hee memiliki sifat yang sama. Dia sama dinginnya denganku, toh aku adalah ayah biologisnya.

Dua manusia itu telah menyelesaikan kegiatannya, Eun Hee selesai menemani puteranya bermain. Haruskah aku menyematkan kata kami? Kurasa itu masih sangat canggung meski sudah enam tahun berlalu.

"Eomma," rengeknya pada Eun Hee yang saat ini mengenakan dress putih selutut dengan blazer peach sebagai pelindung lengannya.
aku perhatian bukan? Bahkan aku mendeskripsikan pakaiannya juga.

"Kau lapar, eoh?" tanyanya kembali pada Eun Woo yang masih menggandeng ibunya.

"Ehemm," jawabnya polos, entah kenapa aku menyukai ekspresi Eun Woo yang demikian.

Eun Hee melepas genggamannya dan segera menuju dapur melewatiku yang masih berdiri menghadap keluar.

Wanita itu sibuk membuka lemari es dan mengambil beberapa butir buah apel untuk Eun Woo. Tangan terampilnya segera mengupas buah berwarna merah itu.

"Appa!" serunya lagi sambil menatapku yang berdiri beberapa jarak di depannya. Lagi-lagi senyum kecut yang kuhadiahkan pada Eun Woo.

"Tunggu sebentar eoh, eomma akan segera memasak makan malam kita," ujar Eun Hee saat Eun Woo telah duduk manis di ruang makan kami.

Hening,

Hanya dentingan sendok yang saling beradu. Aku benci suasana seperti ini, tapi apa boleh dibuat. Canggung dan hening menjadi sahabat karib kami. Ah, kalian bisa membayangkan bukan?

Terkadang aku berpikir, akankah aku seperti ini terus?

Eun Woo semakin lama akan tumbuh dewasa, dan Eun Hee bahkan tak mengijinkan pikiran polos Eun Woo berubah menjadi kebencian padaku. Itulah yang kupikirkan hingga kini, setelah melihat perubahan sikap Eun Hee.

"Kau sudah selesai? Gosok gigimu dan bersihkan dirimu sebelum tidur, Chani-ya," ujar Eun Hee.

Mendapati Chan Hee berdiri begitu saja setelah menghabiskan setengah makan malamnya.

"Aku bukan anak kecil," jawabnya singkat kemudian pergi kembali kekamarnya.

"Aku mengerti," balas Eun Hee singkat. "tidak boleh tersisa, arra?" ucapnya kini menghadap Eun Woo yang duduk di sampingnya.

"Aku sudah selesai," ucapku kini karena menyelesaikan makan malamku yang hanya menyisakan piring kotor.

"Ya," ucapnya singkat lagi.

Selalu saja seperti ini, kami selalu meninggalkan mereka terlebih dahulu setiap kali makan bersama.
Senyum itu...

.

Now Playing :
Jung Seung Hwan - A Walk to Remember

Thanks,

Natha Yongie

Ours Mom ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang